Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Kamis, 17 Maret 2011

HISTORIOGRAFI, SIYASAH DAN SYARIAH

Salah satu kepedulian pokok keilmuan Munawir Sjadzali adalah fiqh siyasah, suatu bidang yang relatif belum dikenal secara luas, tidak hanya di kalangan kaum Muslimin, tapi juga di antara kaum akademisi Muslim di Tanah Air kita.
Fiqh siyasah pada dasarnya berusahamengawinkan dua bidang yang berbeda dalam tradisi keilmuan dan kemasyarakatan kaum Muslimin: fikih (atau lebih sempit lagi, syariah) dan siyasah, yang untuk sementara secara sederhana kita definisikan sebagai polotik. Tetapi, sebenarnya terdapat hubungan yang cukup problematis atau bahkan ketegangan ketika kedua bidang ini mengalami kontak atau bahkan dikawinkan karena fikih atau syariah yang mempunyai citra dan aura sacral, sementara siyasah pada pihak lain berkecenderungan kuat bersifat mudane atau bahkan profane.

HISTORIOGRAFI DAN SIYASAH
Pertumbuhan historiografi Islam sejak fase-fase awal, harus diakui, banyak berkaitan dengan dan dipengaruhi oleh perkembangan siyasah di antara kaum Muslimin.
Perkembangan historiografi partisan ini seperti bisa diduga, terus berlanjut pada masa Abbasiyah. Tulisan-tulisan sejarah yang muncul pada masa generasi pertama Dinasti Abbasiyah ditandai dengan beberapa fase perkembangan: koalisi antara kekuatan Abbasiyah dan kelompok Syiah dan kemudian pertarungan hebat antara Dinasti Abbasiyah dengan kelompok Syiah.
Sejak pertengahan abad ke-9 Masehi, khalifah-khalifah Abasiyah yang berkuasa, khususnya dimulai oleh khalifah Al-Mutawakkil, berusaha untuk menciptakan kompromi antara kaum Sunni dan kelompok Syiah moderat. Upaya mencapai kompromi ini selanjutnya juga terefleksi pada historiografi yang berkembang pada masa-masa ini, seperti terlihat dalam karya Al-Tabari dan Al-Mas’udi. Historiografi pada masa ini muncul dalam bentuk karya-karya sejarah yang merupakan kompilasi dari berbagai peristiwa, yang dilihat tidak hanya dalam konteks sejarah Islam, tetapi juga dalam kerangka sejarah universal. Pada masa inilah tercapai puncak perkembangan historiografi Islam yang rerlatif tidak partisan.
HISTORIOGRAFI BIROKRATIS
Antara abad ke-12 dan 15 Masehi muncul suatu bentuk historiografi Islam yang coraknya relative berbeda dengan historiografi generasi Al-Tabari, yang umumnya berusaha tidak menonjolkan sikap politik partisan. Historiografi ini dapat disebut sebagai kronik birokratis kesultanan. Puncak dari perkembangan historiografi Islam yang siyasah oriented ini terlihat jelas dalam kronik-kronik tentang Kesultanan Mamluk.
Kecenderungan penulisan “sejarah universal” seperti ini tentu saja tidak baru sepenuhnya, karena sejarawan paling terkemuka semacam Al-Thabari (w. 310/923) dalam karya akbarnya tarikh Al-Rasul wa Al-Muluk yang dikenal pula sebagai Tarikh Al-Thabari, misalnya, juga telah menggunakan pendekatan “universal historu” ini. Begitu pula Ibn Al-Katsir (w. 630/12321) yang melalui karyanya Al-Kamil fi Al_Tarikh juga menggunakan pendekatan “sejarah universal”.
Dengan perkembangan ini, maka muncullah semacam micri-history dan local history dalam perkembangan historiografi Islam. Kedua bentuk tulisan sejarah yang disebutkan terakhir ini tetap mempunyai kaitan erat dengan politik; mereka umumnya tetap memberikan penekananyang khas pada perkembangan politik dan dinasti-dinasti yang ada, baik pada tingkat regional maupun local (cf. Humphreys, 1988: 121-7.
Salah satu contoh tipikal birokratis ini adalah Kanz Al-Durar wa Jami’ Al-Ghurar karya Abu Bakar Abdullah Ibn Al-Dawadari. Karya yang diselesaikan pada 736/1335, ia terdiri dari 8 jilid, yang diterbitkan di Kairo pada 1971 berdasarkan suntingan Haarman. Agak aneh memang, jika kitab ini sama sekali tidak memasukkan tokok-tokoh ulama yang berperan penting dalam kehidupan sosial-keagamaan dalam pembicaraannya.
Dalam kaitannya dengan perkembangan historis masyarakat Islam secara keseluruhan, maka ulama dalam masa-masa sebelumnya berusaha mempertahankan semacam jarak dengan kekuasaan , kini justru semakin terseret ke dalam orbit kekuasaan.
Perkembangan sosio-politik masyarakat Islam seperti itu, sebagaimana terefleksi dalam historiografi Islam semasa, jelas tidak berdiri sendiri. Ia juga berjalin berkelindan dengan perkembangan pemikiran Islam, khususnya di dalam bidang fikih atau syariah umumnya.
SIYASAH DAN SYARIAH
Pada bagian awal tulisan ini telah diisyaratkan tentang hubungan yang cukup problematis antara siyasah dan syariah yang juga disebutkan melibatkan ketegangan antara ranah “mundane” dengan “profane”. Keterangan ini dalam konteks ilmu politik, dapat pula disebut sebagai tensi antara raison d’etat dan hokum-hukum Ilahiah. Ketegangan yang pada intinya bersifat ideologis ini menghasilkan historiografi yang bernada lebih agresif.
Sebagaimana diketahui, banyak pemikir polotik Islam, sejak dari Al-Mawardi (w. sekitar 4450/1059) hingga Al-Ghazali (w. 728/1329) mempunyai keahlian yang luar biasa pula dalam bidang fikih dan syariah. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika membangun atau merumuskan konsepsi dan teori polotik, mereka dalam banyak hal mulai dengan syariah. Katagori pemikir polotik ini adalah Al-Turtusyi, Al-Idrisi (w. sekitar 560/1165), Ibn Al-Ibri (w. 1268), Ibn Al-Athir, Ibn Al-Tiqtaqa, Ibn Al-Fuwati (w. 723/1332) dan Ibn Khaldun (w. 808/1406).
Sebaliknya, banyak pemikir atau sejarawan yang lebih siyasah oriented, seperti Al-Idrisi, Ibn Al-Fuwati dan Ibn Al-Ibri, memahami istilah siyasah istilah siyasah sebagai kebijaksanaan atau tindakan Negara yang berada di luar cakupan dan intervensi terlalu jauh dari syariah.
Tulisan ini sedikit banyak telah mencoba mengungkapkan kompleksitas pertumbuhan historiografi Islam dalam kaitannya dengan perkembangan siyasah dan syariah. Sebagaimana secara tersirat diungkapkan, historiografi Islam dalam konteks ini terutama di kawasan Arab sejak abad 12 ditulis tidak lagi untuk kepentingan sejarah perse. Tetapi juga terutama sebagai sumber untuk prudensi polotik atau kekuasaan dan sekaligus sebagai sumber inspirasi moral.
REVISIONISME HISTORIS SEJARAH UMAT ISLAM
SEJARAH BARU
Lapidus yang sebelumnya terkenalnya melalui karya-karyanya tentang “kota-kota Islam” (Islamic cities) mencoba menarik jawaban atas pertanyaan pokok ini dengan pendekatan “sejarah masyarakat-masyarakat Muslim”, yang kemudian dalam edisi bahas Indonesia diterjemahkan sebagai Sejarah Sosial Ummat Islam.
Lapidus sendiri tidak menggunakan istilah social history (sejarah sosial). Agaknya, ia sengaja menghindari istilah “sejarah sosial”, karena istilah ini mengandung berbagai konotasi agak rumit, yang sering dihubungkan dengan mazhab Annales Prancis, yang menekankan sejarah demografi, geografi, iklim dan pengaruhnya terhadap kehudupan teknologi, ekonomi dan politik. Peggunaan istilah “sejarah sosial” dalam edisi terjemahkan ini disebabkan karena Lapidus lebih menekankan sejarah institusi kemasyarakatan, keagamaan, dan politik daripada sejarah ekonomi dan teknologi. Menurut dia, perkembangan historis masyarakat-masyarakat Muslim dlam millennium terakhir secara distingtif lebih bersifat kultural dan polotik.
Dari sudut ini, karya Lapidus ini merupakan suatu bentuk “sejarah baru” (new history) yang juga sangat mempertimbangkan perkembangan nonpolotik umat Islam, atau tegasnya yang disebut Lapidus sebagai perkembangan cultural distingtif tadi.
Sejarah yang disajikan Lapidus adalah sejarah interpretative, sejarah yang dijelaskan dengan bantuan ilmu-ilmu lainya, seperti teologi, antropologi, sosiologi, ilmu politik, dan lain-lain. Hasilnya, karya Lapidus ini memberikan perspektif yang jauh lebih luas dan komprehensif kepada pembaca.
REVISIONISME HISTORIS
Revisionisme historis lapidus sangat penting dari beberapa segi. Pertama, penulisan sejarah yang dilakukannya akan menghilangkan atau meminimalisasi kecenderungan kuat di antara para ahli untuk mengidentikkan Islam dengan Timur Tengah, atau lebih tegas lagi Arab.
Lapidus memang merupakan segelinter sarjana Barat, atau Islamisis lain, seperti Nikki Keddie (guru besar Universitas California, Los Angeles) dan Richard Bulliet (guru besar Universitas Columbia) dengan pandangan revisionism historis yang sangat kental.
Bahkan lebih maju dan lebih tegas lagi, Bulliet dalam karyanya, Islam: The View from the Edge (1996) mendesak agar para sejarawan hendaknya memulai pembahasan tentang Islam dari pinggir atau ujung (edge), seperti dari wilayah India, Indonesia, dan Malaysia; tidak lagi memulai dan memusatkan kajian dan pembahasan dari Timur Tenggah.
Jadi, dilihat dari perspektif revesionisme historis ini, karya Lapidus sangat monumental. Dari cakupan isinya, karya Lapidus ini menyajikan sejarah umat Islam secara komprehensif. Melalui perspektif revisionism itu pula.
EVOLUSIONE KOMPARATIF
Kedua pendekatan ini, menurut Lapidus, didasarkan pada tiga asumsi historis dan metodologis. Pertama, sejarah masyarakat dapat dihadirkan melalui sistem institusional mereka. Institusi-institusi itu terbentuk berdasarkan pola-pola hubungan antara umat manusia, seperti didefinisikan dan dilegimitasi dunia mental para pelakunya. Kedua, sejarah masyarakat-masyarakat Muslim dapat diungkapkan dalam kerangka empat jenis institusi: keluarga, kabilah, dan kelompok etnis, ekonomi, organisasi produksi, dan distribusi kebudayaan atau konsep agama tentang nilai-nilai akhirat, tujuan hidup dan kolektivitas dan politik, sistem kekuasaan, penyelesaian konflik dan pertahanan.
Asumsi ketiga, meski sejarah masyarakat Muslim memiliki cirri-ciri distingtif, tetapi sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan, ia tetap terkait dengan sejarah masyarakat-masyarakat lain di muka bumi.
Akhirnya, penerbitan karya ini dalam bahasa Indonesia perlu kita apresiasi. Dan bila dipastikan karya ini akan memberikan sumbangan sangat penting dalam membangun perspektif lebih komprehensif dan akurat tentang sejarah umat Islam.
SEJARAH SOSIAL DIALOGIS
Karya Ira M. Lapidus, yang aslinya berjudul A History of Islamic Societies dalam edisi Indonesia berjudul Sejarah Sosial Umat Islam, bisa dipastikan sebagai karya paling lengkap dan komprehensif tentang sejarah masyarakat-masyarakat Muslim setelah penerbitan magnum opus Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization(tiga jilid), yang edisi terjemahan Indonesianya diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Buku pertama karya Lapidus dapat dikatakan yang paling lengkap. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, secara substantive, pembahasan mencakup dari Islam kontemporer pada 1980-an. Kedua, dari segi wilayah, sejarah umat Islam yang dibahas Lapidus mencakup sejarah umat Islam di wilayah-wilayah yang selama ini dipandang banyak orientalis dan sejarawan sebagai wilayah “pinggiran” dunia Islam, seperti Nusantara dan Afrika, vis a vis kawasan Timur Tengah (Arab) yang dianggap sebagai “pusat” sejarah dan peradaban Islam.
Karya Lapidus ini menyajikan sejarah Islam dalam perspektif sejarah sosial. Sejarah sosial yang dikemukakan Lapidus berbeda dengan dengan sejarah sosial yang diperkenalkan para sejarawan mazhab Annales Prancis, seperti Marc Bloch, Fernand Braudel, dan lainnya. Bagi para sejarawan mazhab Annales, sejarah sosial adalah sejarah ekonomi, demografi, geografi, iklim, dan rakyat kecil.
Meski sama-sama penting, buku Lapidus ini berbeda dengan karya Hodgson. Hodgson sangat menekankan perkembangan sejarah Islam, Islamdom (kekuasaan politik Islam), dan Islamicate (peradaban yang diwarnai Islam) dalam kaitannya dengan general history. Lapidus lebih memfokuskan pembahasan pada “totalitas” sejarah masyarakat Muslim itu sendiri.
Asumsi dasar Hodgson bahwa dalam sejarah dunia terdapat “sejarah Islam” atau sekurang-kurangnya “ sejarah kaum Muslimin” mirip dengan kerangka mazhab Annales. Bagi Hodgson terdapat struktur-struktur yang khas dalam perkembangan umum masyarakat-masyarakat tempat Islam menjadi agama yang dominan. Struktur-struktur itu, dalam banyak hal, dibentuk oleh consicience, kesadaran keagamaan yang tentu agak misleading. Consicience, seperti bisa diduga, adalah istilah yang disebut para sejarawan mazhab Annales mentalite, sejarah mentalitas.