Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Sabtu, 19 Desember 2009

PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA MASA REFORMASI



BAB I
PENDAHULAN
Sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu pesantern dan madrasah bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa serta keseluruhan, sedangkan secara khusus pendidikan Islam dan bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi ke Islaman dalam arti yang seharusnya. Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tentang pendidikan dapat dilihat bahwa posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meliputi: pendidikan Islam seperti mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai nilai.
Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran adalah diberikan mata pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedudukan mata pelajaran ini semakin kuat dari satu fase ke fase yang lain.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Reformasi
Sebagian menganggap bahwa reformasi sudah tercapai manakala penyelenggara negara yang sudah 32 tahun berhenti, sehingga bagi mereka mundurnya Presiden Soeharto pada hari kamis, 21 mei 1998 merupakan puncak kemenangan. Ada yang memandang reformasi sebagai upaya pembersihan penyakit KKN dan kawan-kawan, sehingga identik dengan penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Reformasi juga diartikan perubahan terhadap semua sistem kepemerintahan secara Totolitas.
Pendidikan Islam di Indonesia
Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam yang sempat di telaah oleh Azra (1999), menunjukkan bahwa kajian pemikiran dan teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan,yaitu:
A. Mendekatinya secara sangat doktrinal, normatif, idealistik yang kadang-kadang justru mengaburkan kajian atau konteksnya dengan Pemikiran Islam itu sendiri.
B. Mengadopsi filsafat, pemikiran, dan teori-teori kependidikan Barat, tanpa kritisisme yang memadai bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah.
C. Memberi lagi timasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits tertentu, sehingga menjadi titik tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam.
D. Pemikiran kependidikan Islam atau relevan dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir-pemikir dan filosof muslim sedikit sekali diungkapkan dan dibahas.
Indonesia yang masyarakat penduduknya beragama Islam ternyata belum mampu menumbuhkan budaya teknologi dan deversifkasi sumber budaya manusia. Hal ini dapat terjadi di samping masalah strategi pendidikan yang belum sepenuhnya mengarah pada penuasaan teknologi tinggi. Kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia masih banyak berantung pada beberapa aspek, seperti sumber daya alam. Penyebaran pendudukan dan kesejahteraan yang belum merata.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam Indonesia pada masa kini memerlukan suaru arientasi baru sebagai uapay terhadap perubahan kearah pengembangan teknologi atau merombak pola pikir pendidikan Islam.
Adapun lembaga pendidikan Islam secara struktur Intelektual masa akan datang masih sama seperti yang ada pada saat sekarang yaitu:
1. Pendidikan model Pondok Pesantren.
2. Pendidikan Madrasah.
3. Pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
4. pendidikan umum yang mengajarkan mata pelajaran/kuliah agama Islam.
Dua yang pertama tidak menuntut penjelasan. Sementara yang terakhir dapat menumbuhkan pemahaman yang tumpang tindih.
Jenis ketiga dapat dijelaskan dengan contoh: seperti AMP Al-Irsyad, SMA Muhammadiyah dan Universitas Islam Indonesia, sementara jenis yang keempat dapat dijelaskan dengan contoh: seperti SMP PGRI, SMU Negeri dan UGM.
Pada tingkat tinggi, depag telah menyelenggarakan program pembibitan dosen bagi para lulusan IAIN. Program MA dan Ph. D di Universitas terkemuka di negara-negara Barat. Setelah mereka kembali ke Indonesia, mereka direkrut sebagai dosen di Program Pascaserjana, alasan pengiriman pada lulusan IAIN adalah sederhana yaitu untuk mengintegrasikan Intelektualisme Islam dengan Intelektualisme nasional. Bila para ekonomi, sosial, sarjanawan dan lain-lainnya dapat didik di barat, mengapa Intelektual Islam tidak bisa dilaksanakan dan tidak terlalu bergantung dengan cendekiawan Muslim di Timur tengah saja.

Pembinaan Pendidikan Islam
Salah satu tuntunan reformasi adalah adanya otonomi daerah, berkenaan dengan itu berlakunya dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Arus dari tuntunan otonomisasi ini adalah demokratisasi. Suara dari segala penjuru dunia sangat gencar saat sekarang ini untuk menegekkan demokratisasi dan hak Asasi manusia (HAM).
Uraian tentang dasar pemikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diungkapkan beberapa hal yang relevan dengan pembahasan ini, yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi kewenanggan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang keadilan erta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Salah satu bagian dari penyelenggara negara yang diotonomkan adalah pendidikan. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menurut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan. Beberapa dampak ari sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformasi. Uniformasi itu mematikan inisiatif dan kreativitas serta inovasi. Di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan itu akan tumbuh kreativitas dan inovasi.
Selama ini pendidikan Islam terutama kelembagaan madrasah secara full dan otonom berada di bawah pengolaan Departema Agama. Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 salah satu bidang yang tidak diotonomikan adalah agama, sedangkan pendidikan termasuk bagian yang diotonomikan.
Banyak pemikiran yang timbul di sekitar persoalan tersebut. Pertama, ada pendapat yang menginginkan agar pendidikan agama dan keagamaan tetap berada di bawah naungan Departeman Agama, untuk menjaga kemurnian visi dan misi pendidikan agama. Dengan anggaran biaya Pemerintah Pusat. Kedua, ada pemikiran yang menginginkan bahwa pendidikan agama dan keagamaan berada di bawah naungan Pemerintah Daerah, dalam hail ini Dinas Pendidikan, agar pendidikan agama dan keagamaan lebih berkembang. Ketiga, adanya keinginan mencari konvergensi di antara keduanya, yaitu kebijakan tetap berada di tangan Depertemen Agama, teknis operasional berada di tangan Pemerintah Daerah/Dinas Pendidikan.
Pemikiran tentang pengelolaan lembaga pendidikan Islam dalam hal ini madrasah telah lama muncul di Indonesia, jarak sebelum lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 UU tentang sistem Pendidikan Nasional. Pada tahun 192 telah pernah keluar Surat keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan Pasal 33 Surat Keputusan tersebut berbunyi: ruang lingkup pembidangan tugas dan tanggung jawab dalam melaksakan pembinaan pendidikan dan latihan dimaksudkan dalam Pasal 1 Keputusan presiden ini diatur sebagai berikut:
1. Menteri Pendidikan dan kebudayaan bertanggung jawab atas pembinaan dan pendidikan umum dan kejuruan.
2. Menteri Tenaga Kerja bertugas bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri (Darajat, 1980; 48).
Setelah mempelajari arus pemikiran dan aspirasi yang berkembang selama proses dan pengumpulan bahan-bahan masukan bagi penyusun konsep undang-undang Sistem Pendidikan nasional yang kemudian malahirkan UU No. 2 tahun 1989 serta seperangkat Peraturan Pemerintah tentang pendidikan, yang menyimpulkan bahwa madrasah tetap berada pengelolaannya di bawah naungan Departemen Agama.

Dari berbagaia uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa diskusi tentang perkembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para perkembangan dan pemikirnya, semakin memperkaya Khazanah pemikran tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
BAB III
PENUTUP
Dari titik pandangan ini, pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan mendukung secara penuh dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri. Pada dasarnya pendidikan Islam mengutamakan pada aspek keagamaan dengan metode klasiknya, tidak jarang sekolah atau madrasah yang menolak bantuan dari pemerintah.
Kesadaran akan kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga pergolakan pendidikan Islam di Indonesia dengan pokok-pokok pemerintah atau penguasa terkadang masih merupakan kendala-kendala dan mewujudkan peran pendidikan Islam dalam era pembangunan dimasa ini.
Inti kajian ini adalah proses pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam dengan memperhatikan segi-segi dalam dan segi-segi luar atau faktor internal dan eksternal, sehingga mempengaruhi terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, H. Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhandan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Siradj, Said Adiel, Islam Kebangsaan, Jakarta::Pustaka Ciganjur, 1999.
Muhaimin, Wacana Perkembangan Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar: Jogja, 2003.

SOSIOLOGI INTERPRETIF: TEORI-TEORI TINDAKAN

SOSIOLOGI INTERPRETIF: TEORI-TEORI TINDAKAN

Interaksionisme simbolik
Interaksionisme simbolik (IS) adalah nama yang memberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pertanyaan-pertanyaan seperti “ definisi situasi”, “realitas di mata pemiliknya”, dan jika orang mndefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya menjadi relevan. Menurut ahli teori IS, kehidupan sosial secara harfiah adaah interaksi manusia melalui penggunaan simbol-simbol. IS tertarik pada:
1. cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud dan untuk berkomunikasi satu sama lain ( suatu minat interpretif yang ortodoks).
2. akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi sosial.
Salah satu kontribusi utama IS bagi teori tindakan adalah elaborasi dan menjelaskan berbagai akibat interpretasi terhadap orang lain terhadap identitas sosial induvidu yang menjadi objek dari interpretasi tersebut.

Kontruksi citra diri
Pengaruh interaksionisme yang paling umum adalah pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi orang laon sebagai bukti kita pikir siapa kita. Berarti, citra diri (self image) kesadaran identitas kita adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang kita. Citra diri adalah produk dari proses interpretif alokasi makna antara satu orang dengan orang lain yang bagi teori tindakan adalah akar dari semua interaksi sosial.
IS berpendapat bahwa kerap kali yang menjadi persoalan bukanlah apakah interpretasi itu benar, melainkan dampaknya terhadap penerimanya.
Manfaat dari hasil proses interaksi antara orang yang menginterpretasi dan orang yang diinterpretasi jelas dapat dilihat. Diri kita orang yang kita menjadi tergantung pada orang-orang tertentu yang kita kebetulan bertemu dalam perjalanan hidup. Orang tua, saudara, kerabat, teman, rekan kerja dan lain-lain dapat membentuk kita menjadi orang yang berbeda.

Akting sosial: penghadiran dii dalam kehidupan sehari-hari
Namun, pengaruh orang lain baru separuh dari proses interaksi yang ditekankan oleh IS. Jauh dari isu kepribadian manusia yang begitu saja dikontruksi secara pasif oleh orang lain, IS menekankana peran aktif yang dimainkan manusia dalam penciptaan diri sosiala (social selves) mereka. Akibat dari kita yang mengelola atau mengatur irama, respons-respons orang lain dengan cara menghadirkan citra kita sedemikian sesuai dengan yang inginkan mereka berpikir tentang kita. Kita menjadi aktor-aktor di atas panggung kehidupan, menuliskan garis-garis kehidupan kita.

Teori labeling
Label yang berlawanan dengan ciri-ciri
Kadang-kadang kita tidak berada dalam posisi memprotes kesalahan interpretasi orang lain terhadap kita karena kita sudah mati.
Teori labeling berpendapat bahwa kadang-kadang proses labeling itu berlebihan karena sang korban salah interpretasi itu bahkan tidak dapat melawan dampaknya terhadap dirinya. Berhadapan dengan label yang diterapkan drengan kuat, citra diri orang yang dilabel itu dapat runtuh. Ia akan memandang dirinya seperti citra yang dilabelkan orang lain kepadanya.

Perubahan cira diri
Identifikasi dari proses ini adalah gambaran penggunaan teori labeling terhadap penyimpangan suatu wilayah di mana teori ini sangat berpengaruh. Salah satu kontribusinya yang paling signifikan bagi kajian tentang perilaku menyimpang adalah menunjukan bahwa identifikasi penyimpangan adalah produk interpretasi individu tertentu dalam tatanan sosial tertentu. Juga ditunjukan bahwa reaksi orang lain terhadap orang yang dilabel menyimpang kadang-kadang begitu berat sehingga mereka dapat memproduksi perubahan yang dramatik dalam citra diri yang sudah terbentuk.

Goffman dan institusionalisasi
Goffman (1968) mendefinisikan institusi total sebagai tempat-tempat tinggal dan bekerja di mana sejumlah orang yang dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang lebih luas untuk waktu ang cukup lama, bersama-sama menjalani kehidupan yang diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat. Ia mengatakan bahwa dalam kondisi demikian, pengaturan kehidupan benar-benar dirancang untuk mengganti citra diri yang ada dengan yang baru, yang lebih diterima oleh institusi.
Meskipun teori labeling biasnya berpendapat bahwa proses tersebut tidak dapat dilawan oleh penerimanya, Goffman benar dengan prinsip-prinsip interaksionisnya.

Teori labeling dan kejahatan
Teori labeling berpendapat bahwa ada dua pertanyaan dasar yang harus dikemukakan tentang kejahatan:
1. Mengapa sebagian aktivitas manusia dianggap ilegal, sedangkan aktivitas yang lain tidak?
2. mengapa sebagian orang menjadi jahat (kriminal), sedangkan yang lain tidak?

Menurut teori labeling, jawaban atas kedua pertanyaan tersebut mencerminkan distribusi kekuasaan dalam masyarakat . Orang yang berkuasa tidak hanya dapat bertindak terhadap apa yang disebut ilegal dalam suatu masyarakat, tetapijuga dapat mempengaruhi siapa saja yang dilabel sebagai kriminal . Teori labeling berpendapat bahwa meski kita kerapkali berpikir bahwa hukum datang dari Tuhan atau cukup pasti dalam kepentingan setiap orang, sesungguhnya tidak semudah itu dalam kenyataan. Sesungguhnya dalam konstruksi aturan hukum itu adalah tindakan politik. Keputusan bahwa tindakan ini boleh, sedangkan tindakan itu tidak boleh, dibuat oleh manusia yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan.

Pelanggaran hukum
Dari sudut pandang ini, tugas suatu eksplanasi mengenai kejahatan sosiologi, psikologis, atau biologis adalah untuk mengungkapakan penyebab mengapa seseorang terjerumus kedalam jalur kejahatan itu. Bagi teori labeling, segala sesuatu tidaklah berjalan menuju garis lurus, terutama karena analisis seperti itu mengabaikan perbedaan besar antara jumlah kejahatan yang dilakukan dan jumlah penjahat yang dihukm.
Menurut teori labeling, kita tidak perlu mencari jawaban lebih jauh daripada distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Hal yang sama, pihak yang berkuasa dapat menentukan tindakan-tindakan mana saja yang ilegal dan yang mana tidak, mereka juga bisa mengembangkan persepsi tertentu tentang kriminal keuntungan bagi mereka. Jadi meskipun statistik resmi hanya memberikan sedikit gambaran tentang distribusi aktual kejahatan dalam masyarakat, angka statistik tersebut sesungguhnya banyak menunjukan kepada kita bagaimana polisi dan penegak hukum lainnya memandang dan memberi label kriminal.

Struktur vs tindakan: analisis kejahatan
Di ranah seperti kejahatan, asumsi struktur dan tindakan bertemu. Dengan memperhitungkan penentu-penentu (determenant) eksternal dari aktivitas sosialyang terdapat dalam struktur sosial, para teoris struktural mencari alasan mengapa, sebagaimana ditunjukan oleh statistik pengaduan, orang-orang tertentu melakukan tindak kejahatan sedangkan yang lain tidak.
Salah satu eksplanasi yang paling populer tentang gejala ini adalah teori sub-budaya. Disini kejahatan dijelaskan sebagai produk pengaruh kebudayaan atau norma-norma. Dengan demikina tugas sosiologi adalah mengidentifikasi unsur-unsur kebudayaan yang meningkatkan kejahatan tersebut dalam suatu dunia sosial dan bukan di dunia sosial yang lain.
Alasan dari kontradiksi yang nyata ini adalah bahwa teori-teori sosiologi, khususnya ketika dopraktekkan untuk menjelaskan daerah tertentu kehidupan sosial, biasanya tidak sepenuhnya struktural dan juga bukana sepenuhnya interpretif. IS merupakan bentuk yang cukup moderat dari teori tindakan, yang paling menekankan pentingnyainterpretasi dalam konstruksi sosial dari realitas, tidak menolak eksistensi definisi yang memiliki bersama semacam kebudayaan bersama, katakan demikian yang menjadi sumber bagi manusia untuk memilih interpretasi mereka.
Dalam hal ini, IS menempati wilayah tengah antara teori struktual murni dan teori tindakan murni. Menurut faktanya, sebagian besar teori sosiologi itu berada di antara ekstrim-ekstrim ini, yang tidak mengkonsentrasikan perhatian secara ekslusif pada determinan eksternal maupun interpretasi, melainkan menekankan satu daripada yang lain. Ekstrim yang paling jelas dari interpretif ini adalah etnometologi.

Etnometodologi
Etnometodologi mendorong kasus teori tindakan bahwasanya realitas sosial itu adalah kreasi paa pelaku hingga ke tapal batas.
Etnometodologi itu memiliki tiga asumsi:
1. kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; segala sesuatu adapat terjadi dalam interaksi; namun,
2. para pelaku tak menyadari hal ini, karena
3. tanpa mereka ketahui, mereka mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat ayang teratur.

Konsentrasi perhatian utama etnometodologi agak berbeda dari teori-teori tindakan lainnya. Daripada berkutat pada dasil interpretasi penciptaan citra diri atau konsekuensi labeling. Etnometodologi tidak tertarik pada dnia sosial tertentu melainkan lebih tertarik pada bagian-bagian spesifik interaksi di antara anggota-anggotanya. Penekanannya adalah tentang bagaimana keteraturan suatu tataran sosial merupakan pencapaian (yang tidak diketahui) oleh para partisipannya.
Minat untuk menguraikan kemampuan-kemampuan praktikal para partisipan (anggota) berasal dari teori tentang realitas yang disebut fenomenologi. Fenomenologi ini menekankan bahwa sesuatu atau kejadian tidak memiliki makna sendiri. Gejala itu hanya memiliki makna apabila manusia menjadikannya makna.

Ajaran pokok Tasawuf

AJARAN POKOK TASAWUF
Makalah Ini Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam
Dosen pengampu : Dudung Abdurahman

Disusun Oleh :
Syamsul Rahmi : 08120023

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf itu bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Banyak ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia. Di dalam makalah ini hanya membahas tentang Ajaran Pokok Tasawuf yang mempunyai lima pembahasan saja yang menurut saya ketahui, yaitu Zuhud, Al mahabbah, Al ma’rifah, Al Fana’ dan Al Baqa’, dan Al Ittihad. Tujuan sebenarnya dari sufi ialah berada sdekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapainya persatuan. Jalan untuk mencapai tujuan itu panjang dan berisi stasiun-stasiun yang disebut dalam bahasa Arab al-maqamat. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasiun-stasiun itu. Untuk lebih jelas lagi, pemakalah akan mencoba menguraikan pembahasan tersebut pada berikut ini.










BAB II
PEMBAHASAN
A . ZUHUD
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan Zuhud itu disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. ¬Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasuin (maqam) menuju tercapainya “ perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.
Al-Junaidi mengatakan bahwa zuhud ialah “kosongnya tangan dari pemilikan dan kosongnya hati dari pencarian (mencari sesuatu)”. Demikian pula Ruwaim ibn Ahmad mengatakan bahwa zuhud ialah menghilangkan bagian jiwa dari dunia, baik berupa pujian dan sanjungan, maupun posisi dan kedududkan di sisi manusia.
Zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni rida, bertemu dan ma’rifat Allah SWT.
Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu al-Wafa al-Taftazani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu.
Perbedaaan antara zuhud sebagai maqam dengan zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes ialah:
Yang pertama melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah SWT dan ma’rifat kepada-Nya, dunia dipandang sebagai hijab antara dia dengan Tuhan, sedangkan yang kedua hanya sebagai sikap mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghias diri dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari bahwa cinta dunia merupakan pangkal kejelakan (ra’su kulli khafi’ah).
Yang pertama bersifat individual sedangkan yang kedua bersifat individual dan sosial, dan sering dipergunakan sebagai gerakan protes terhadap ketimpangan sosial.
Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doktrinal, dan ahistoris, sedangkan yang kedua formulasinya bisa diberi makna kontekstual dan historis.

Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan zuhud sebagai salah satu maqam menuju ke sana. Dan yang kedua, arti dasar ihsan ialah berbuat baik.
Harun Nasution mencatat ada limapendapat tentang asal usulzuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meniggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan paham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusai meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahmana.

B. AL MAHABBAH
Al-Junaidi berkata: “Cinta adalah kecenderungan hati,” berarti bahwa hati cenderungkepada Tuhan dan apa yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa. Yang lain berkata: cinta adalah penyesuaian,” yaitu kepatuhan terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhan, menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Tuahn, dan puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Muhammad ibn Ali al-Kattani berkata: “Cinta berarti lebih menyukai Kekasihnya.” Yang lain berkata: “Cinta berarti lebih menyukai apa yang dicintai untuk orang yang dicintainya.” Abu Abdillah al-Nibaji berkata: ”Cinta adalah kesenangan jika itu ditunjukan kepada makhluk, dan pembinasaan jika itu ditunjukan kepada Pencipta. Salah seorang tokoh Sufi berkata: Cinta adalah suatu kesenangan, dan dengan Tuhan tidak ada kesenangan; sebab keadaan-keadaan hakikat itu merupakan kekagetan, penyerahan dan kebingungan. Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu pemujaan yang bersemayam di dalam hati, dan penafian cinta kepada sesuatu selain Tuhan. Cinta Tuhan kepada manusia adalah bahwa Dia menyusahkannya, dan membuatnya tidak layak untuk apa pun kecuali untuk Dia.
Cinta manusia kepad Allah adalah merupakan keagungan yang bertempat di hatinya, maka hati manusia tidak akan merasa tenang apabila mengagungkan selain Allah; dan cinta Allah kepada manusia iyalah bahwa Dia akan membebani hamba-Nya sehingga tidak patut bagi selainnya.
Seorang pemimpin sufi berkata: “Cinta itu ada dua macam: Pertama, cinta yang hanya dalam pengakuan saja, cinta yang demikian berada pada setiap menusia. Kedua, cinta yang dihayati dan diresapi dalam hati karena keluar dari lubuk hati, cinta demikian akan membawa pengorbanan dengan tidak melihat kepentingan/keuntungan yang akan didapat baik oleh diri orang itu sendiri atau untuk selainnya, cinta yang demikian adalah cinta cinta yang benar-benar dan semata-mata hanya dari dan untuk Allah.
C. AL MA’RIFAH
Al Ma’rifah artinya pengenalan atau mengenal Ilmu Ketuhanan dalam Islam adakalanya juga disebut “ilmu Ma’rifah”, karena ilmu ini membahas hal pengenalan kepada Allah (ma’rifatullah) antara lain mengenal sifat-sifat-Nya yang wajib, dan juga jaiz, demikian juga sifat-sifat mustahil bagi-Nya dan lain-lain ma’rifah yang diperintahkan Allah untuk dipercayai.
Al Mahabbah senantiasa didampingi oleh al-ma’rifah. Al-Mahabbah dan al-Ma’rifah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan. Yang pertama menggambarkan rasa cinta dan yang kedua menggambarkan keadaan mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Al-ma’rifah tidak sama dengan al-‘ilm. Kalau al-ma’rifah diperoleh dengan hati nurani, al-‘ilm diperoleh dengan akal. Al-ma’rifah dimiliki hanya oleh kaum sufi. Al-ma’rifah tidak diperoleh begitu saja tetapi bergantung pad rahmat Tuhan. Untuk memperoleh itu hati seorang sufi harus dibuka Tuhan dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dahulu. Dalam al-ma’rifah sufi telah berhadap-hadapan dengan Tuhan. Dengan lain kata sufi telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya.
Sufi yang dikatakan pertama membawa paham al-ma’rifah adalah Zunnun Al-Misri. Sebagai dapat dilihat dari namanya Zunnun berasal dari Mesir. Ia lahir di Mesir Selatan; tanggal lahirnya kurang diketahui, tetapi ia meninggal pada tahun 859 M. Selain dari sufi ia menurut riwayatnya juga ahli ilmu pengetahuan dan filsafat. Dikatakan bahwa ia juga dapat membaca huruf hieroglif yang ditinggalkan zaman Fir’aun di Mesir.
Al-ma’rifah, kata Zunnun adalah cahaya yang dilontarkan Tuhan ke dalam hati sufi. “Orang yang tahu Tuhan tidak mempunyai wujud tersendiri tetapi berwujud melalui wujud Tuhan”.
Tasawuf dalam bentuk al-ma’rifah serupa ini diterima oleh Al-Ghazali dan atas pengaruh Al-Ghazali selanjutnya dapat pula diterima dan diakui oleh Ahli Sunnah dan Jama’ah. Dapat dikatakan bahwa atas pengaruh Al-Ghazalilah maka tasawuf dapat berkembang di dunia Islam yang menganut Ahli Sunnah.
Dengan sampainya seorang sufi ke tingkat al-ma’rifah, ia pada hakikatnya telah dekat benar dengan Tuhan. Untuk berpindah dari tingkat berhadap-hadapan dengan Tuhan ke tingkat bersatu dengan Tuhan diperlukan satu langkah saja.
D. AL FANA’ dan AL BAQA’
Sebelum dapat mencapai tingkat al-ittihad, sufi harus terlebih dahulu mencapai al-fana’. Al-fana’ senantiasa diikuti oleh al-baqa’. Al-fana’ ialah penghancuran dari sedangkan al-baqa’ merupakan kelanjutan wujud. Sebagai halnya dengan al-ma’rifah dan al-mahabbah, al-fana’ dan al-baqa’ juga merupakan kembar dua.
Yang dimaksud dengan al-fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran seorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain di sekitarnya. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sabar lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di ketika itulah ia sampai kepada al-baqa’ atau kelanjutan wujud dalam diri Tuhan. Di situ pulalah tercapainya al-ittihad.
Di dalam pendapat lain, al-fana’ ialah hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua kepentingannya dalam ia berbuat sesuatu.
Dan al-baqa’ yang ada pada sufi, ialah hilangnya segala sesuatu yang ada pada dirinya dan menetapkan (mengekalkan) apa-apa yang bagi Allah.
Seorang pemimpin sufi berkata: “al-baqa’ itu merupakan tingkatan spritual yang ada pada para nabi, mereka bersifat tenang, apa-apa yang menimpa diri mereka tidak dapat mencegah mereka dari kesibukan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka kepada Tuhan dan tidak dapat mencegah anugerah Allah yang diberikan kepada mereka.”
Sufi pertama yang membawa falsafat ini adalah Abu Yazid Al-Bustami. Ia lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun. Kelihatannya ia mempunyai istri, tetapi tak dapat diketahui perincian selanjutnya dari hidup perkawinannya ibunya juga merupakan seorang zahid dan Abu Yahid amat patuh padanya. Sungguhpun orang tuanya adalah sa;ah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan sederhana dan menaruh kasih sayang serta kasih pada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam dan ketika kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab: “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar dari waktunya ia pergunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan.
E. AL ITTIHAD
Dengan tercapainya al-fana’ dan al-baqa’ itu sampailah Abu Yazid kepada al-ittihad. Dalam tingkat ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan. Yang mencintai dan yang dicintai telah menjad satu. Identitas yang mencintai telah hilang. Identitas telah menjadi satu. Sufi bersangkutan karena fananya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Di dalam al-ittihad yang disadari hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud. Yang disadari hanyalah wujud Tuhan.
Penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu yang selain Tuhan, dalam hati tidak melihat dalam arti memuja apa-apa kecuali Tuhan dan tidak mendengar apa-apa kecuali firman Tuhan. Al-Nuri berkata: “Penyatuan adalah pengungkapan hati dan perenungan kesadaran.” Pengungkapan hati itu dilukiskan dalam kata-kata Haritsah: “Seolah-olah saya melihat Singgasana Tuhan saya tampil,” sedangkan perenungan (dari ) kesadaran itu ditunjukan dalam perkataan Nabi: “Pujalah Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya,” dan perkataan Ibn Umar: “Kami melihat Tuhan itu.” Yang lain berkata: “Penyatuan terjadi ketika kesadaran datang dalam keadaan alpa,” yang berarti bahwa pemujaan kepada Tuhan itu mengacaukan pemujaan kepada segala sesuatu yang lain. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: “Penyatuan adalah ketika hamba itu tidak bersaksi atas apa pun kecuali Penciptanya dan ketika tak ada pemikiran apa pun kecuali mengenai Pembuat dirinya.” Sahl berkat: “Mereka digerakkan oleh kesusahan karena itu mereka berada dalam kekacauan. Kalau mereka sedang tenag, maka mereka pasti telah mencapai penyatuan.











BAB III
KESIMPULAN
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh Al-Qur’an berbicara tentang kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (al-mahabbah).
Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha memperoleh keridhaan-Nya.
Sebenarnya para sufi itu belumlah dikatakan menjadi sufi, tapi barulah menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.










DAFTAR PUSTAKA
Syukur, M. Amin, Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Penerbit PUSTAKA PELAJAR,1997
Ya’qub, H. Hamzah, Ilmu Ma’rifah Sumber Kekuatan dan Ketenteraman batin. Jakarta: Penerbit oleh CV. Atisa, 1988
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1984-1985
Al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi. Bandung: Penerbit Mizan, 1995
Kalabadzi, Abu Bakar M, Ajaran-ajaran Sufi. Bandung: Penerbit Pustaka, 1995

etika ilmu


Etika Ilmu
Etika secara umum dapat diartikan sebagai theories, or philosophical study of human moral values and conducts. Atau teori-teori atau studi filosofis tentang prilaku moral manusia. Etika mencakup persoalan-persoalan tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti dan apa yang baik bagi manusia.
Dalam etika, yang lebih ditekankan adalah persoalan nilai baik dan buruknya suatu tindakan manusia, bukan suatu kebenaran perbuatan manusia, kata baik tersebut memiliki konotasi apakah perbuatan seseorang itu mempunyai nilai kebaikan bagi orang lain, atau tidak merugikan bagi eksistensi orang lain, tetapi sebaiknya memberikan manfaat pada mereka.
Pada abad modern di Eropa muncul slogan “scienc for science”, ilmu untuk ilmu sebagai sikap perlawanan terhadap abad pertengahan yang dipandang sebagai penghambat kebebasan pengembangan ilmu. Slogan ini jelas bahwa tujuan pengembangan ilmu adalah untuk imlu itu sendiri, bukan untuk kepentingan nilai tertentu.
Pandangan Bebas Nilai dalam Ilmu
Pandangan ilmu bebasa nilai mengatakan bahwa ilmu dan juga teknologi yang dihasilkan adalah otonom. Bebas nilai artinya semua kegiatan yang terkait dengan penyelidikan ilmuah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai:
a) Ilmu harus bebas dari pengadaian-pengadaian nilai. Artinya ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politik, ideologis, religius, kultural, dan sosial.
b) Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penemuan diri.
c) Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Paradigma Tidak bebas Nilai dalam Ilmu
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai memandang bahwa ilmu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu tentu tidak bisa lepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan lain sebagainya.
Jurgen Habermas berpandangan bahwa ilmu, bahkan ilmu alam sekalipun tidak mungkin bebas nilai, karena pengembangan setiap ilmu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia membedakan tiga macam ilmu dengan kepentingan-kepentingannya, yaitu, pertama, ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris analisis. Ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasilnya untuk kepentingan manusia. Pengetahuan teknis ini melahirkan teknologi sebagai upaya manusia mengelola dunia atau alamnya. Kedua, pengetahuan yang mempunyai pola yang sangat berlainan, karena tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesama dan mempelancar hubungan sosial. Aspek kemasyarakatan yang diperbincangkan di sini ialah hubungan sosial atau interaksi. Sedangkan kepentingan yang dikejar oleh pengetahuan ini ialah pemahaman makna. Ketiga, pengetahuan teori kritis, yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusai pada otonomi dirinya sendiri. Sadar diri amat penting di sini. Aspek sosial yang mendasarinya ialah dominasi kekuasaan atau kepentingan yang dikejar adalah pembahasan manusia.
Problem ilmu bebas nilai atau tidak sebenarnya menunjukan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Paling tidak ada tiga beantuk hubungan antara ilmu dan etika, Pertama, ilmu merupakan sebuah sistem yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang bersifat bermakna atau tidak bermakna dapat ditentukan. Ilmu dipandang sebagai semata-mata aktivitas ilmiah, logis, dan berbicara fakta. Kedua, menyatakan bahwa etika memang dapat berperan dalam tingkah laku ilmuwan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan, mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil, dan petunjunk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Ketiga,bahwa aktifitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah untuk kesejahteraan manusia. Ilmu hanya instrument bagi manuaia untuk mencapai tujuan manusia yang lebih baik hakiki, yakni kebahagiaan umat manusia.
ISLAM, SAINS DAN TEKNOLOGI
Sains dan teknologi, merupakan dorongan-dorongan terpadu seluruh umat manusia. Adalah keagunagn Islam bahwa Al-Qur’an, dengan perintah yang diulang berkali-kali, mengandung suruhan untuk bertafakur dan bertasykir (mengejar saint dan teknologi) sebagai kewajiban atas masyarakat Muslim.
Ada lima pendekatan dalam membicarakan hubungan Islam, sains, dan teknologi:
1. Menunjukan bagaimana Islam mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi.
2. Mengulas sumbangan umat Islam bagi perkembangan sains san teknologi.
3. Membahas secara falsafi nisbah Islam, sains dan teknologi.
4. Menentukan apakah ada sains yang Islami? Bagaimana bentuk saint dan teknologi yang Islami?
5. Menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
ETIKA ISLAM
Banyak aliran etika, dan kita harus menetapkan pilihan. Etika mesti merupakan sesuatu yang mutlak, supaya tidak membingungkan. Sebagai orang Islam, tentu kita menjatuhkan pilihan kepada etika Islam. Hal ini bukan karena konsekuensi iman saja, tetapi juga karena etika Islam sanggup menjawab tantangan kehidupan modern. Etika Islam bukan sekedar teori, tetapi juga pernah dipraktekkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam, berbeda dengan etika lain, mempunyai sosok dalam diri Muhammad s.a.w. Muhammad s.a.w. telah menjadi contoh indah dari etika Islam. Etika Islam juga bersumber pada Al-Qur’an, wahyu Allah yang tidak diragukan keaslian dan kebenarannya, dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai the living Qur’an.