Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Februari 2011

ISLAM DALAM MASYARAKAT BANJAR

ISLAM DALAM MASYARAKAT BANJAR
Oleh : H. Alfani Daud
Pengajar Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari

I. PENDAHULUAN
SUKU bangsa Banjar ialah penduduk asli sebagian wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu selain Kabupaten Kota Baru. Mereka itu diduga berintikan penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan ini sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya, setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasanya dinamakan secara umum sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan, terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu dan Banjar (Kuala). Orang Pahuluan pada asasnya ialah penduduk daerah lembah sungai-sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke Pegunungan Meratus, orang Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar (Kuala) mendiami daerah sekitar Banjarmasin (dan Martapura). Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya ialah bahasa Melayu, sama halnya seperti ketika berada di daerah asalnya di Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Dayak dan asal Jawa.
Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu, sebelum dihapuskan pada tahun 1860, adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibu-kotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan arah ke pedalaman, terakhir di Martapura, nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi. Orang Banjar memeluk agama Islam dan, seperti ternyata dalam uraian selanjutnya, tergolong taat men-jalankan perintah agamanya.
Dalam uraian berikut ini diikhtisarkan gambaran tentang wujud agama Islam dalam masyarakat Banjar. Yaitu bentuk-bentuk kepercayaan dan bentuk-bentuk kelakuan yang merupakan ungkapan rasa keagamaan mereka, serta faham yang mereka anut tentang keselamatan manusia. Yang terakhir ini ialah bukan saja gagasan-gagasan tentang apa yang harus dilakukan agar selamat dalam kehidupan sesudah mati kelak, melainkan juga gagasan-gagasan untuk menatap hidup masa yang akan datang di dunia ini juga. Gagasan-gagasan tentang kepercayaan dan tentang keselamatan manusia ini tentu sangat erat berkaitan dengan pengalaman masyarakat Banjar pada masa lampau. Oleh karena itu, sebelum sampai pada isi pokok karangan ini, dibicarakan juga tentang organisasi masyarakat, khususnya dalam zaman yang lampau, dan proses islamisasi yang dialami mereka, yang telah ikut mewarnai kepercayaan yang dianut mereka. Di dalam seksi yang disebut terakhir ini akan dikemukakan apa yang sebenarnya terjadi, sampai akhirnya Islam menjadi identitas masyarakat Banjar, serta perkembangan keislaman mereka kemudian.
Organisasi Masyarakat
SUKU bangsa Melayu, yang menjadi inti masyarakat Banjar, memasuki daerah ini, ketika dataran dan rawa-rawa yang luas yang saat ini membentuk bagian besar Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah masih merupakan teluk raksasa yang jauh menjorok ke pedalaman. Sukubangsa Melayu itu, dengan melalui laut Jawa, memasuki teluk raksasa tersebut, lalu memudiki sungai-sungai yang bermuara ke sana, dan yang belakangan menjadi cabang-cabang sungai Negara, yang semuanya berhulu di kaki Pegunungan Meratus. Mereka tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit, yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku-bangsa Banjar, yaitu sama-sama berasal dari Sumatera atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok masyarakat asal Melayu ini memang hidup bertetangga tetapi, setidak-tidaknya pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meski pun kelompok suku Banjar (baca: Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri. Untuk kepentingan keamanan dan atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan, yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga ada pada masyarakat balai di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah ini pulalah yang kemudian dinamakan Pahuluan.
Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat (Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak Bukit ikut membentuknya. Masyarakat Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalung. Selaku warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, se-hingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalung adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Manyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani, maka banyak di antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan pengrajin.
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjar), sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang baru ini, dan dengan demikian terbentuklah subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa dengan suku Dayak Ngaju yang, seperti halnya dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Manyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam, atau berimigrasi ke tempat-tempat lain, khususnya ke sebelah barat sungai Barito. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar, sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Berkali-kali kita menyebut bubuhan. Bubuhan adalah merupakan kelompok kekerabatan ambilinial: seseorang menjadi warga masyarakat bubuhan karena ia masih se-keturunan dengan mereka, dari pihak ibu saja atau dari pihak ayah saja, mau pun kedua-duanya, dan menetap dalam lingkungan bubuhan tersebut. Seseorang dapat masuk menjadi warga kelompok apabila ia kawin dengan salah seorang warga dan menetap dalam lingkungan pemukiman mereka. Hal yang sama masih terjadi di kalangan masyarakat Bukit sampai setidak-tidaknya belum lama berselang. Kelompok bubuhan dipimpin oleh seorang warganya yang berwibawa. Sama halnya dengan masyarakat balai saat ini, kepala bubuhan, yang pada masa kesultanan sering disebut sebagai asli, berfungsi sebagai tokoh yang berwibawa, sebagai tabib, sebagai kepala pemerintahan dan mewakili bubuhan bila berhubungan dengan pihak luar, sama halnya seperti seorang kepala balai, yang biasanya selalu seorang balian bagi masyarakat Bukit sampai belum lama ini. Ketika terbentuk pusat kekuasaan, kelompok masyarakat bubuhan diintegrasikan ke dalamnya: kewibawaan kepala bubuhan terhadap warganya diakui. Biasanya sebuah kelompok bubuhan membentuk sebuah anakkampung, gabungan beberapa masyarakat bubuhan membentuk sebuah kampung, dan salah seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa diakui sebagai kepala kampung itu. Untuk mengkoordinasikan beberapa buah kampung ditetapkan seorang lurah, suatu jabatan kesultanan di daerah, yaitu biasanya seorang kepala bubuhan yang paling berwibawa pula. Beberapa orang lurah dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, suatu jabatan yang mungkin dapat disamakan dengan jabatan bupati di Jawa pada kurun waktu yang sama. Dengan sendirinya seseorang yang menduduki jabatan formal sebagai mantri atau penghulu merupakan tokoh pula di dalam lingkungan bubuhannya.
Dengan demikian dapat kita nyatakan bahwa sistem pemerintahan pada masa kesultanan, dan mungkin juga regim-regim sebelumnya, diatur secara hierarkis sebagai pemerintahan bubuhan. Di tingkat pusat yang berkuasa ialah bubuhan raja-raja, yang terdiri dari sultan beserta kerabatnya ditambah dengan pembesar-pembesar kerajaan (baca: mantri-mantri). Pada tingkat daerah memerintah tokoh-tokoh bubuhan, mulai dari lurah-lurah, yang dikoordinasikan oleh seorang lalawangan, berikutnya ialah kepala-kepala kampung, yang adalah seorang tokoh bubuhan, semuanya yang paling berwibawa di dalam lingkungannya, dan membawahi beberapa kelompok bubuhan rakyat jelata pada tingkat paling bawah. Peranan bubuhan ini sangat dominan pada zaman sultan-sultan, dan masih sangat kuat pada permulaan pemerintahan Hindia Belanda. Belakangan memang dilakukan perombakan-perombakan; jabatan kepala pemerintahan di atas desa (kampung) tidak lagi ditentukan oleh keturunan, melainkan melalui pendi-dikan, dan ini terjadi sekitar permulaan abad ke-20, tetapi di tingkat desa peranan bubuhan masih kuat sampai belum lama berselang. Kenyataan tokoh bubuhan tidak lagi menduduki jabatan tinggi membawa pengaruh pada wibawa bubuhan tersebut terhadap masyarakat-masyarakat bubuhan selebihnya.
Saat ini dominasi bubuhan sebagai kelompok kekerabatan sudah sangat lemah, tetapi masih terasa dan sewaktu-waktu masih muncul ke permukaan. Konsep bubuhan akhirnya difahami sebagai suatu lingkungan sosial sendiri, yang berbeda dengan lingkungan sosial lainnya. Demikianlah kita sering mendengar ungkapan bubuhan Kandangan, bubuhan SMP Negeri Pantai Hambawang, bubuhan kami (kelompok kami) atau bubuhan kita (kelompok kita) dan bubuhan ikam (kelompok kamu), bubuhannya (dalam arti kawan-kawan lainnya).
Kenyataan tentang dominasi bubuhan terhadap bubuhan lainnya dan dominasi tokoh bubuhan terhadap warga selebihnya ikut mewarnai keislaman masyarakat Banjar, yang bekas-bekasnya masih dapat ditemukan sampai sekarang.
Proses Islamisasi
SANGAT mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja, Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti oleh elit ibukota, masing-masing disertai kelompok bubuhannya, dan oleh elit daerah, juga diikuti warga bubuhannya, dan demikianlah seterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling bawah.
Dengan masuk Islamnya para bubuhan, kelompok demi kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah menjadi identitas orang Banjar dan merupakan cirinya yang pokok, meski pun pada mulanya ketaatan menjalankan ajaran Islam tidak merata. Dapat dikatakan bahwa pada tahap permulaan berkembangnya Islam tersebut, kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Islam telah terintegrasikan ke dalamnya: dengan masuk Islamnya bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai bagian dari kepercayaan bubuhan. Tidak heran bila ketika itu ungkapan keislaman secara berkelompok lebih dominan dibandingkan ibadah perseorangan umpamanya. Namun orang Banjar berusaha belajar mendalami ajaran agamanya serentak ada kesempatan untuk itu, sehingga akhirnya orang Banjar secara relatif dapat digolongkan orang yang taat menjalankan agamanya, seperti halnya sekarang.
Intensitas keberagamaan masyarakat Banjar meningkat tajam setelah Syekh Arsyad al-Banjari kembali dari mengaji di tanah Arab dan membuka pengajian di Dalam Pagar, sebuah perkampungan yang dibangunnya di atas tanah perwatasan yang dihadiahkan oleh sultan kepadanya, terletak sekitar lima kilo meter dari keraton. Murid-muridnya kemudian membuka pengajian pula di tempatnya masing-masing, yang antara lain adalah keturunannya sendiri, seakan-akan merupakan perwjudan dari hasil munajatnya kepada Tuhan agar dikaruniai ilmu keagamaan sampai tujuh keturunan ("alim tujuh turunan"). Salah sebuah kitab yang dianggap sebagai perwujudan ajaran-ajaran Syekh, terkenal sebagai kitab perukunan, menjadi pegangan umat di kawasan ini selama lebih dari satu abad. Ceritera rakyat menggambarkan bahwa kitab perukunan sebenarnya ialah hasil catatan salah seorang cucu perempuan Syekh yang cerdas ketika mengikuti pengajian khusus wanita yang diberikan oleh Syekh, dan kemudian dicetak dan diakukan sebagai dikarang oleh mufti Jamaluddin, salah seorang anak Syekh. Kitab ini, menurut penulis, belakangan ditambah dan disempurnakan, dan dinamakan Perukunan Besar atau Perukunan Melayu, yang dicetak sebagai dikarang oleh Haji Abdur-rasyid Banjar. Selain peningkatan pengamalan sehari-hari ajaran Islam, Syekh juga berhasil menegaskan peran tokoh agama dalam pemerintahan sebagai kadi dan mufti. Syekh juga berhasil membentuk pengadilan agama, yang tersebar di daerah-daerah dan terus berlanjut sampai lebih dari seratus tahun sesudah meninggalnya. Pada tahun 1835 Sultan Adam (meninggal 1857), melalui kitab hukum yang dinamakan Undang-Undang Sultan Adam, memerintahkan warganya agar membangun langgar dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan ibadah bersama yang, barangkali, merupakan asal muasal orang Banjar gemar membangun langgar.
Kenyataan bahwa bubuhan memeluk Islam secara berkelompok telah memberikan warna pada keislaman masyarakat di kawasan ini, yaitu pada asasnya diintegrasikannya kepercayaan Islam ke dalam kepercayaan bubuhan, yaitu kepercayaan yang dianut oleh warga bubuhan.
II. KEPERCAYAAN
BERIKUT ini kepercayaan yang dianut masyarakat Banjar, yang dipilah menjadi kepercayaan asal ajaran Islam dan kepercayaan asal kebudayaan lokal. Sebenarnya sulit untuk memilah, karena kepercayaan-kepercayaan yang nampaknya bersifat lokal, namun unsur-unsur Islamnya ditemukan juga; demikian pula kepercayaan-kepercayaan yang jelas-jelas bersumber dari ajaran Islam, tetapi mengandung unsur-unsur yang tidak dapat diketahui sumbernya. Yang pertama, umpamanya, tentang kepercayaan terhadap wali lokal, yang kuburannya menjadi sasaran ziarah, selalu ada ceritera tentang suara orang membaca tahlil di sekitar kuburan itu, yang tidak diketahui sumbernya. Yang kedua, umpamanya, tentang malaikat yang dapat dijadikan sahabat gaib.
Kepercayaan Islam
ORANG Banjar meyakini sepenuhnya keenam rukun iman, dan melaksanakan dengan rajin kelima rukun Islam. Orang Banjar percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Allahlah yang menciptakan alam dan seluruh isinya, termasuk makhluk-makhluk halus. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada dan sanggup pula menjadikannya dari ada menjadi tidak ada. Sesuai dengan kemahatahuanNya ini, orang Banjar juga percaya bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu sejak semula (azali), tetapi rincian tentang kepercayaan kepada takdir ini tidak berhasil diungkapkan.
Orang Banjar percaya tidak lama setelah kuburannya ditimbuni kembali, Allah mengembalikan ruh kepada si mati, yang segera menyadari tentang kematiannya, dan ia juga mendengar petuah-petuah yang diberikan dalam talkin. Tidak lama setelah itu dua orang malaikat datang menanyainya tentang agamanya dan akan menyiksanya bila jawabannya tidak benar atau tidak memuaskan. Pada hari kiamat nanti semua orang akan dibangkitkan dari kuburnya dan dihalau ke padang mahsyar untuk ditimbang amal baik dan amal buruknya. Buku berisi catatan amal baik dan amal buruk, hasil karya malaikat tertentu, diperlihatkan, dan masing-masing tidak dapat berkelit atau membantah isi buku amalnya, karena setiap anggota tubuh yang digunakan untuk berbuat buruk akan menjadi saksi. Setelah penimbangan amal, semua orang, dengan melalui sebuah titian yang lebih halus dari sehelai rambut dan lebih tajam dari sembilu, melewati lautan api menuju ke surga. Mereka yang telah tamat mengaji al-Qur'an dapat menumpang sebuah kapal, jelmaan kitab al-Qur'an, ketika menyeberang tersebut. Tergantung amal perbuatannya sewaktu hidup di dunia, seseorang melewati lautan api tersebut seperti kilat, yang lain agak lambat, sangat lambat, tertatih-tatih, bahkan ada yang jatuh. Orang-orang muslim yang berat amal buruknya lebih dibanding amal baik-nya akan dimasukkan ke dalam neraka guna menebus dosa-dosanya, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam surga menyusul para muslim yang taat yang telah lebih dahulu berada di sana.
Umumnya orang Banjar hafal di luar kepala nama-nama ke 25 rasul yang penting, meski pun kadang-kadang lupa ketika merincinya. Berkenaan dengan Nabi Muhammad semua orang hafal nama kedua orang tuanya, isteri-isterinya dan anak-anaknya, meski pun dua yang terakhir ini barangkali tidak semuanya, dan nama beberapa sahabatnya. Syafaat_ Nabi Muhammad sangat diharapkan pada hari kiamat nanti, yang akan meringankan azab, yang tidak mungkin diberikan oleh nabi yang lain. Nabi Muhammad mempunyai sebuah telaga tempat umatnya memuaskan dahaga pada teriknya hari kiamat di padang mahsyar kelak. Seksi berikutnya akan mengemukakan anggapan orang Banjar tentang (anak) Nabi Sulaiman dan Nabi Khaidir.
Malaikat diciptakan Allah dari cahaya (nur) dengan tugas-tugas tertentu, antara lain menyampaikan wahyu, mencabut nyawa, mencatat amal perbuatan manusia, menanyai setiap manusia di dalam kuburnya, dan menjadi penguasa surga dan neraka. Orang Banjar, setidak-tidaknya sebagian, percaya bahwa ada malaikat yang bertugas khusus untuk memelihara kemurnian al-Qur'an dan yang lain berfungsi untuk menyebarkan rahmat.
Orang Banjar yakin bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci guna menunjang rasul-rasulnya dalam menjalankan misi risalahnya masing-masing, yaitu Taurat (kepada Nabi Musa), Zabur (kepada Nabi Daud), Injil (kepada Nabi Isa) dan, yang terakhir al-Qur'an (kepada Nabi Muhammad). Selain dari pada itu juga Allah menurunkan lembaran-lembaran kecil (di lapangan orang menyebut sahifah) kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Syis. Berkenaan dengan kitab al-Qur'an, mereka yakin masih banyak rahasia yang terkandung di dalamnya yang belum terungkapkan, baik bersangkutan dengan amalan-amalan bacaan yang berguna bagi kehidupan di dunia mau pun di akhirat, atau pun kegunaan lainnya.
Meski pun tidak termasuk unsur dalam rukun iman, di dalam ajaran Islam termasuk juga kepercayaan tentang wali, orang yang kedudukannya istimewa di sisi Tuhan. Di kalangan masyarakat Banjar wali (lokal) nampaknya ialah manusia keramat, orang suci, dan kuburannya menjadi sasaran ziarah. Sasaran ziarah lainnya ialah mesjid-mesjid keramat dan situs candi Agung.
Kepercayaan eks Kebudayaan Lokal
KEPERCAYAAN eks kebudayaan lokal yang mewarnai keislaman masyarakat Banjar pada hakekatnya mengandung paham tentang keunggulan kelompok kerabat bubuhan dan tokoh tertentu mereka dibandingkan dengan bubuhan lain atau warga selebihnya. Kewibawaan tokoh-tokoh ini berlanjut terus setelah mereka meninggal dunia, sehingga akhirnya dimitoskan menjadi tokoh di dunia gaib yang berfungsi menjaga keseimbangan kosmos dan memelihara adat istiadat. Demikianlah, selain malaikat (jin, iblis dan setan), yang bersumber dari ajaran Islam, orang Banjar juga percaya pada makhluk-makhluk halus lain, yang asal jelmaan manusia dan yang memang seasalnya makhluk halus. Semua makhluk halus tersebut dipercayai sebagai makhluk ciptaan Tuhan pula seperti halnya manusia. Makhluk-makhluk halus tersebut ialah orang-orang gaib, yang asal cikal bakal raja-raja Banjar yang wapat. Atau makhluk halus yang menghuni hutan dan danau atau rawa tertentu yang asal nenek moyang bubuhan tertentu yang biasa dipanggil datu, yang dapat diduga asal tokoh yang menyingkir ke tempat tersebut dan menetap disana. Makhluk halus lainnya ialah berbagai makhluk bawah air, yaitu naga, tambun, dan buaya, ketiganya yang asal jelmaan nenek moyang. Selain tokoh nenek moyang yang wapat, ada pula kelompok bubuhan tertentu yang yakin bahwa sepasang moyangnya dahulu telah menjelma menjadi naga dan seterusnya hidup sebagai makhluk bawah air itu sampai saat ini.
Makhluk halus lainnya ialah macan dan tabuan, keduanya yang gaib, yang dikonsepsikan hidup di gunung, dan buaya gaib yang hidup di dalam air. Macan dan buaya konon di dalam lingkungannya hidup bermasyarakat seperti halnya manusia, dan di antaranya ada yang dapat menyaru dan dengan demikian bergaul dengan manusia lainnya, yang dapat dikenali dengan tanda-tanda fisik yang berbeda (antara lain tangan dan kaki yang relatif lebih pendek, dan tiadanya lekukan pada bibir atasnya). Makhluk halus lainnya ialah yang dikonsepsikan sebagai mengganggu atau mendatangkan penyakit atau dapat disuruh dukun menyebabkan sakit: kuyang, hantu beranak, hantu sawan, hantu karungkup, hantu pulasit. Dan makhluk halus (hantu) yang dikonsepsikan sebagai jelmaan manusia yang telah mati, karena mengaji ilmu yang salah atau karena meminum salah satu minyak sakti agar kaya, kebal (taguh) atau kuat perkasa (gancang). Bayi dilahirkan bersama-sama dengan saudara-saudaranya, yang semuanya gaib, yaitu biasanya berupa personifikasi dari benda-benda yang menyertainya ketika lahir.
Selain itu di dalam kosmologi orang Banjar termasuk juga alam yang tidak kelihatan, alam gaib, antara lain, sebagai tempat makhluk-makhluk halus hidup bermasyarakat. Nampaknya dunia ini bagi orang Banjar relatif atau tumpang tindih, sebab mungkin saja hutan rawa, semak belukar atau pokok kayu tertentu sebenarnya di dalam dunia gaib ialah kota, perkampungan, atau gedung megah milik orang gaib. Dunia gaib di balik apa yang nampak ini di kalangan tertentu disebut sebagai bumi lamah (harpiah: bumi lemah). Juga ada istilah bumi rata untuk dunia gaib berupa gua-gua di gunung-gunung batu, yaitu tempat pemukiman masyarakat macan gaib. Istilah yang pertama agak luas penyebarannya, sedangkan yang kedua lebih terbatas. Sebenarnya ada dunia gaib lain lagi, yaitu dunia para buaya yang terletak di bawah permukaan sungai, yang tidak penulis ketahui namanya.
Keterampilan atau kelebihan, bahkan juga kewibawaan, yang dimiliki seseorang konon bukan semata-mata diperoleh dengan belajar, melainkan dapat pula terjadi berkat kekuatan gaib yang ada pada dirinya, karena ilmu gaib yang diwarisinya, atau karena adanya makhluk gaib yang menopangnya. Selain itu orang yang mempunyai keterampilan khusus atau mempunyai keistimewaan dibandingkan orang lain (seniman wayang, seniman topeng, ulama, tokoh berwibawa di kalangan bubuhan) dianggap mempunyai potensi untuk mengobati; hal ini nampaknya ada kaitannya dengan kekuatan gaib yang diduga ada padanya atau adanya makhluk gaib yang menopangnya. Selain itu berkembang anggapan bahwa bila ada 40 orang dalam suatu majelis doa atau majelis sembahyang jenazah, pasti termasuk di dalamnya orang yang saleh_, yang doa-nya atau pun kutuknya sangat makbul.
Orang Banjar percaya bahwa berbagai benda, termasuk binatang atau tumbuh-tumbuh-an dan bacaan tertentu mempunyai khasiat atau kegunaan tertentu, yang penulis istilahkan sebagai tuah. Demikian pula orang, binatang atau tumbuh-tumbuhan dan mungkin juga benda-benda lain mempunyai diri yang lain yang penulis istilahkan sebagai semangat dan di lapangan diistilahkan sebagai sumangat, ngaran (nama), raja (raja), dan ngaran raja. Tentang tuah dan semangat ini lihat uraian berikutnya..
III. KELAKUAN RELIGIUS
SUATU kelakuan religius memperjelas dan mengungkapkan kepercayaan religi, berfungsi mengkomunikasikannya ke dunia luar dan merupakan perwujudan dari usaha para warga komunitas untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau makhluk-makhluk halus yang menjadi isi kepercayaan. Di samping itu kelakuan ritual atau seremonial tertentu berfungsi meningkatkan solidaritas masyarakat pula. Dengan demikian ber-bagai kelakuan religius yang terungkap dalam masyarakat Banjar dapat ditelusuri referensinya asal ajaran Islam atau dapat dikembalikan kepada kepercayaan Islam, dan yang lain dapat dicari asal usulnya dari kepercayaan asal kebudayaan lokal. Kali ini juga kita tidak dapat memilah secara ketat.
Pokok-pokok kewajiban ritual Islam tergambar dalam rukun Islam, yaitu kewajiban sembahyang, puasa, zakat, haji dan mengucapkan kalimat syahadat. Tetapi ungkapan religius umat di kawasan ini meliputi pula berbagai kelakuan kolektif yang bersifat ritual, seremonial atau pengajaran: ibadah bersama di rumah-rumah ibadah, perayaan maulud, perayaan mi'raj, berbagai selamatan, berbagai kelakuan ritual bersangkutan dengan kelahiran, perkawinan dan kematian, dan berbagai bentuk mengaji. Sedangkan wujud kelakuan ritual yang dapat dikembalikan pada kepercayaan asal kebudayaan lokal ialah berbagai bentuk upacara bersaji, berbagai upacara tahap hidup individu, berbagai upacara mandi, berbagai tabu dan keharusan, sering berkenaan dengan pakaian dan perhiasan, keharusan ziarah ke tempat-tempat tertentu, dan tabu membawa makanan tertentu di dalam kendara-an. Namun di dalam kelakuan tersebut sering kali terkandung unsur-unsur yang dapat dikembalikan kepada ajaran Islam.
Kelakuan Islam
ORANG Banjar relatif taat menjalankan agamanya: sembahyang dilakukan dengan teratur, meski pun adakalanya tidak tepat waktunya. Meski pun jelas ada saja orang yang tidak berpuasa dalam bulan Ramadlan, khususnya di kota-kota, tetapi yang jelas tidak ada orang yang secara terbuka memperlihatkan ia tidak berpuasa, dan anak-anak sering diperingatkan agar tidak "mengganggu" orang yang berpuasa dengan cara memakan sesuatu di hadapannya. Zakat juga ditunaikan dengan teratur, di sini khususnya zakat fitrah, zakat padi dan zakat barang-barang yang diperniagakan. Kegairahan untuk menunaikan ibadah haji di kawasan ini mungkin yang terbesar di Indonesia. Dan ada saat-saat tertentu syahadat diucapkan secara formal. Di lapangan diketahui jenis sembahyang tertentu dan syahadat berfungsi pula selaku upaya magis untuk berbagai keperluan tertentu. Selain itu ada saat-saat tertentu orang-orang melakukan ibadah sunat: sembahyang sunat, puasa sunat, sedekah sunat.
Segala ibadah dan doa memang ditujukan kepada Allah dan tidak dapat ditujukan kepada makhlukNya; tidak ada yang dapat mengabulkan doa kecuali Allah. Namun bagi orang Banjar doa yang diucapkan orang saleh dianggap makbul dan restu yang diberikannya dengan melakukan sembahyang hajat sangat bermanfaat. Rezeki, penyakit dan kesembuhan diakui berasal dari Allah, tetapi Allah juga yang menentukan dengan takdirNya sebab atau lantaran untuk itu, yang diluar kemampuannya untuk mengetahuinya. Ini mengharuskan orang berusaha dengan berbagai cara guna mencari sebab bagi terhalangnya rezeki atau guna mencari sumber kesembuhan, termasuk melakukan upacara bersaji atau meminta tolong kepada balian (pemimpin religi suku di Labuhan) atau kepada tabib. Dalam hal mencari kesembuhan ini doa orang saleh sangat bermanfaat.
Keyakinan, bahwa kehidupan sesudah mati tergantung pada amal perbuatannya ketika hidupnya, tidak menghalangi keluarga untuk menyantuni kerabatnya yang telah meninggal. Hal ini akan disinggung kembali dalam seksi berikutnya.
Di kalangan tertentu berkembang anggapan bahwa dengan cara balampah orang dapat menghubungi malaikat atau jin untuk dijadikan muwakkal atau sahabat, dan demikian pula dengan mahluk-mahluk halus lainnya, yaitu orang gaib, macan gaib atau salah satu kembaran kita sendiri sewaktu lahir. Malaikat yang dijadikan sahabat ialah khususnya malaikat pemelihara surah al-Ikhlas dan surah al-Mulk. Sahabat gaib ini akan membantu kita sewaktu-waktu diperlukan dalam berbagai kegiatan di dunia ini.
Perayaan maulud, yaitu peringatan hari lahir Nabi, dirayakan berganti-ganti hampir sepanjang bulan Rabi' al-Awwal bahkan sampai permulaan bulan berikutnya, oleh hampir semua rumah tangga di Hulu Sungai, dan konon demikian pula halnya dahulu di Martapura. Memperingati maulud dan mi'raj Nabi merupakan kegiatan rumah-rumah ibadah, sekolah-sekolah dan perkumpulan-perkumpulan tertentu. Mengamalkan membaca selawat Nabi Muhammad konon memudahkan memperoleh syafaat beliau pada hari kiamat kelak, dan dapat serta meminum air di telaga beliau di padang mahsyar nanti. Di dalam masyarakat beredar berbagai bentuk selawat dengan kegunaannya masing-masing. Qasidah Burdah, sebuah syair puji-pujian untuk Nabi, diyakini berkhasiat mendinginkan (dinginan), dibaca berulang-ulang sebagai upaya mendinginkan suasana yang memanas dan dibacakan pada air dan airnya digunakan sebagai air keramat untuk mandi.
Nabi Sulaiman dianggap, setidak-tidaknya di kalangan tertentu, sebagai pemilik segala khazanah yang tersimpan dalam perut bumi atau segala sesuatu berkenaan dengan tanah. Di kalangan pendulang intan dan emas berkembang berbagai bacaan agar bisa memaku isi perbendaharaan Nabi Sulaiman di suatu tempat dan kemudian membuka khazanah perbendaharaan tersebut, agar mudah diambil. Bacaan atau mantra yang pertama dinamakan kunci bumi, dan yang sebuah lagi kunci Nabi Sulaiman. Konon mengetahui nama anak Nabi Sulaiman, yang tidak bertangan dan berkaki sehingga "tubuhnya bulat mirip semangka", berarti bergaul intim dengannya dan, dengan demikian, mudah memperoleh hasil bila mela-kukan usaha berhubungan dengan tanah atau bumi. Nabi Khaidir dianggap sebagai penguasa bawah air, namun tidak nampak ia dipuja dalam fungsinya itu. Tetapi yang jelas ia secara khusus "diundang" ketika bersaji tahunan (aruh tahun) dengan menghidangkan nasi ketan kuning dan nasi ketan putih yang dibentuk seperti gunung, masing-masing dengan telur rebus di atasnya, yang di-anggap sebagai pembuka rezeki, dan (oleh kalangan tertentu "diundang") ketika akan memulai suatu usaha dan setahun sekali.
Bagi orang Banjar kitab al-Qur'an mengandung rahasia, yang hanya sebagian kecil berhasil diungkapkan. Di lapangan diketahui ada ayat dan surah yang dibaca, diamalkan atau dipakai sebagai jimat agar murah rezeki, mudah memperoleh ilmu pengeta-huan, untuk mendinginkan badan si sakit, agar mudah memperoleh jodoh, atau mem-bebaskan pengamalnya dari siksa api neraka di akhirat kelak. Ayat lain berfungsi men-damaikan suami isteri yang sering bertengkar, memikat jodoh atau sebagai mantra untuk mengail. Kitab surah Yasin berfungsi selaku penangkal terhadap makhluk halus yang biasa mengganggu wanita yang sedang atau baru-baru melahirkan atau bayinya. Tali mubin, yang diperoleh dengan membuhul benang hitam setiap kali sampai pada kata mubin ketika membaca surah Yasin, dijadikan gelang untuk bayi dan berguna sebagai penangkal agar ia tidak sering menangis.
Doa orang banyak sangat bermanfaat, tetapi juga kutukan mereka sangat ditakuti. Jumlah empat puluh orang dewasa atau lebih yang menyembahyangkan dan kemudian mendoakan seorang warga menjelang dikuburkan, meletakkan botol berisi air di atas mimbar pada hari Jum'at dan menggunakannya sebagai air doa, dan orang senantiasa diperingatkan agar jangan sampai banyak orang yang menyebutnya sebagai gila atau nakal. Yang terakhir ini di-katakan bila sampai ada empat puluh orang mengatakan seseorang sebagai gila, orang ter-sebut akan benar-benar gila.
IV. FAHAM KESELAMATAN MANUSIA
ISLAM, seperti juga biasanya agama lainnya, berbicara tentang kehidupan lain sesudah kehidupan di dunia ini dan mengungkapkan apa yang harus diupayakan manusia agar selamat dalam alam akhirat tersebut. Faham tentang keselamatan manusia di kalangan orang Banjar menyangkut berbagai gagasan tentang bagaimana seharusnya sebaiknya hidup di dunia ini, bagaimana seharusnya kelakuan agar selamat dalam kehidupan akhirat kelak, usaha-usaha guna mempengaruhi hidup di dunia dan usaha-usaha mempengaruhi kehidupan lain sesudah mati; yang terakhir ini termasuk yang diupayakan sendiri oleh yang bersangkutan ketika hidupnya dan yang dilakukan oleh kerabat dekatnya sesudah meninggalnya.
Agar selamat hidup di dunia, orang harus memelihara hubungan baik dengan tetangganya, termasuk juga dengan tetangga yang gaib. Bagi kerabat-kerabat tertentu hubungan baik juga harus dipelihara dengan nenek moyang yang gaib atau yang telah menjelma menjadi naga, dan atau dengan makhluk gaib yang menjadi sahabat nenek moyang. Bagi orang Banjar ketidak serasian hubungan dengan tetangga atau masyara-kat atau seretnya rezeki dan terlambatnya mendapat jodoh, mungkin saja ada kaitannya dengan ulah orang gaib, yang tidak senang akan sikapnya. Agar selamat hidup di akhirat, orang harus menjalankan kewajiban agamanya dengan tekun dan teratur dan memelihara hubungan baik dengan tetangga, seperti nampak pada gagasan tentang orang yang dapat diminta untuk melakukan upacara bahilah, sembahyang fiil, puasa fiil, dan sembahyang hadiah bagi kepentingan kerabat yang baru-baru meninggal dunia. Konon kesempurnaan ibadah sukar diperoleh, karena itu ibadah harus dilengkapi dengan ibadah-ibadah sunat dan berbagai-bagai amalan bacaan. Meski pun demikian kegiatan ibadah sunat sebenarnya tidak banyak dilakukan kecuali pada waktu-waktu tertentu. Selain itu di lapangan nampak ada berbagai usaha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, baik di dunia ini juga mau pun di akhirat kelak.
Ada orang yang memakai wafak agar disenangi orang banyak atau agar mudah berurusan dengan para pembesar atau rezekinya dalam bidang kegiatan mencari nafkah tertentu meningkat atau jodohnya segera ditemukan. Amalan bacaan (termasuk ayat atau surah al-Qur'an) tertentu mempunyai fungsi demikian pula. Berbagai minyak sakti konon diminum atau dioleskan di tubuh agar kebal atau kuat perkasa atau agar disukai orang. Kegiatan balampah, kurang lebih bertapa, konon akan menjadikan kehidupannya, baik rohani mau pun fisik, akan menjadi lebih baik.
Orang-orang tertentu mempersiapkan alat-alat makan dan minum yang terbaik untuk dihadiahkan oleh ahli warisnya ketika meninggalnya kepada orang yang memandikan mayatnya kelak, dengan anggapan bahwa alat makan dan minum itulah yang akan diguna-kannya dalam alam barunya nanti. Amalan bacaan tujuh laksa (tujuh puluh ribu) zikir, yang dilakukan oleh orang-orang tertentu setelah memperoleh otoritas (ijazah) untuk itu dari seorang alim, diyakini akan membebaskannya dari siksaan api neraka kelak di hari akhirat. Amalan bacaan lainnya (antara lain berwujud ayat-ayat atau surah al-Qur'an, rumusan selawat tertentu) berfungsi demikian pula. Mengaji tasawuf bermotifkan keselamatan di alam akhirat pula, dan dengan mengaji fikih diharapkan meningkatkan kualitas ibadah, dan secara tidak langsung menjanjikan keselamatan di alam akhirat pula. Berwakaf untuk rumah ibadah atau gedung sekolah diyakini akan membuahkan pahala amal terus menerus yang mengalir kepadanya sesudah matinya kelak, setidak-tidaknya selama barang wakaf itu digunakan orang (amal jariah). Mempunyai anak yang alim berarti akan menerima hadiah bacaan sewaktu-waktu bila meninggal kelak.
Keluarga yang tinggal juga dapat mengusahakan keselamatan, khususnya, warganya yang baru-baru meninggal dunia. Di daerah tertentu, ibadah sembahyang dan puasa almarhum yang tidak dilaksanakan atau diduga ada kekurangan ketika dilaksanakan di-tebus dengan sejumlah harta secara simbolis pada acara bahilah. Amalan tujuh laksa zikir almarhum dapat dilengkapi oleh majelis doa, dan demikian pula halnya amalan berupa surah Qulhu (surah al-Ikhlas), yang dilakukan sebelum mayat selesai dimandikan, dan itu sama halnya seperti dilakukan almarhum sewaktu hidupnya. Puasa dan sembahyang yang tidak terkerjakan selama almarhum sakit menjelang kematiannya di-mintakan di-kerjakan kepada orang alim tertentu (dinamakan puasa fiil dan sembahyang fiil). Dengan disembahyangkan oleh empat puluh orang, yang kemudian memohonkan ampunan untuknya dan menyatakan bahwa ia orang baik-baik, dosa-dosa almarhum akan diampuni dan almarhum tergolong dalam kelompok orang baik-baik. Dibacakannya al-Qur'an di samping kuburannya konon akan memaksa malaikat menun-da menyiksanya dan, di daerah tertentu, dengan dibacakan surah al-Qadar pada gum-palan tanah yang digunakan sebagai pengganjal mayat (agar tidak berubah posisinya dalam kubur) konon malaikat tidak dapat mendekat untuk menyiksa si mati. Sembahyang hadiah yang dimintakan dilakukan untuknya kepada seorang alim akan memberikan penerangan di dalam kuburnya; dan keluarga sewaktu-waktu dapat mengeluar-kan amal jariah atas nama almarhum dan berakibat yang sama dengan bila dikerjakan almarhum sendiri sewaktu hidupnya. Anak almarhum dapat sewaktu-waktu mengirimkan hadiah bacaan baginya.
Untuk mengusahakan keselamatan kerabat yang pergi haji, dilakukanlah selamatan menjelang berangkat, ketika akan berangkat, dan setiap malam Jum'at sampai kerabat tersebut tiba kembali di rumah. Di dalam selamatan menjelang berangkat dan setiap malam Jum'at dan terutama pada malam ketika jemaah haji berangkat menuju padang Arafah undangan lebih banyak, acaranya antara lain sembahyang hajat bersama. Di antara hidangan-hidangan dan bacaan-bacaan ketika selamatan itu diyakini akan mendinginkan suasana sekitar kerabat yang tengah menunaikan ibadah haji tersebut
V. PENUTUP
KIRANYA dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang Banjar termasuk penganut Islam yang taat menjalankan agamanya. Namun di dalam berbagai ungkapan religius mereka termasuk juga unsur-unsur yang tidak ada di dalam ajaran Islam, atau bahkan bertentangan dengannya. Yaitu antara lain kepercayaan tentang adanya orang gaib yang asalnya manusia yang tidak mati melainkan berpindah ke alam gaib (wapat) dahulu kala, dan berbagai upacara bersaji yang terkait, malaikat dan makhluk halus lain sebagai sahabat manusia, gagasan tentang tuah pada benda dan cara-cara untuk menentukannya, berbagai kelakuan yang bertujuan untuk menebus atau mengganti ibadah warga yang telah meninggal dunia dan guna menyantuni atau memberikan bekal bagi kehidupan dalam alam baru mereka, dan beredarnya rumusan-rumusan yang dibaca atau dilukis, antara lain ayat atau surah al-Qur'an dengan berbagai khasiat yang tertentu. Unsur pertentangannya dengan ajaran Islam antara lain terletak pada kenyataan adanya larangan memberikan persembahan bagi selain Allah SWT dan adanya larangan mengunjungi juru ramal.
Gagasan keislaman masyarakat Banjar seperti demikian itu terjadi karena dalam proses pengislaman secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai bagian dari kepercayaan bubuhan. Dengan demikian berbagai kegiatan ritual yang mengungkapkan kepercayaan bubuhan tersebut ke permukaan tetap dilaksanakan.
Namun orang Banjar dalam berbagai kesempatan selalu belajar, dan ini berdampak kepada corak keislaman mereka. Selain itu tempat-tempat bersemayamnya orang gaib semakin jauh saja dari pemukiman, dan berbagai ritus kelompok yang diharuskan dalam rangka kepercayaan bubuhan dicela sebagai perbuatan memuja setan dan pembiayaannya yang mahal dan menurunnya partisipasi warga kelompok bubuhan dan warga lingkungan, menyebabkan berbagai ritus akhirnya ditinggalkan.


DAFTAR BACAAN
Adatrechbundel, No. XIII, XXVI, XXVIII, XXXVI, XLIV. ('s-Gravenhage: Mar-tinus Nijhoff, 1917-1952).
"Adat Istiadat Daerah Kalimantan Selatan". Ketua Tim peneliti: M. Idwar Saleh. (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, 1978). Naskah stensil.
Baal, Jan van, Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New Guinea). With the Collaboration of Father J. Schueren. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1966)
Baal, Jan van, Symbol for Communication: An Introduction to the Anthropologic-al Study of Religion. (Assen: Van Gorcum, 1968).
Bondan, Amir Hasan (Kiai), Suluh Sedjarah Kalimantan. (Banjarmasin: Percetakan Fajar, 1953)
Cense, A.A., De Kroniek van Bandjermasin. (Santpoort: C.A. Mees, 1928).
Ceritera Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. 3 jenis naskah. (Banjarmasin, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidik-an dan Kebudayaan, 1976-1984).
Daud, Alfani, "Pengamalan Ajaran Al-Qur'an dalam Masyarakat (Kasus Masyarakat Banjar)", makalah dalam Seminar Nasional Al-Qur'an dan Tantangan Zaman, April 1985 di Yogyakarta, yang kemudian dimuat (versi berbahasa Inggeris) dalam Mizan, jilid II, No. 4, 1987, hlm 72-88.
Durkheim, Imile, The Elementary Forms of Religious Life. Diterjemahkan oleh J.W. Swain. (New York: Collier Books, 1976).
Firth, Raymond, Elements of Social Organization. (Boston: Beacon Press, 1972). Edisi Pertama tahun 1951.
Goede, William J., Religion among the Primitives. (London: Collier-Macmillan, 1951).
Joekes, A.M., "De Wet van Sultan Adam van Bandjermasin van 1835", dlm De Indische Gids, tahun ke 3, jilid II, 1881, hlm 146-179.
Lelang, Muhammad, "Gegevens over boeboehan of familieband (1904)" diterje-mahkan dan dikomentari oleh J.C. Vergouwen, dlm Adatrechtbundel XXVI, 1926, hlm 459-464.
Loomis, Charles P., dan Loomis, Zone K., Modern Social Theories: Selected American Writers. (London, Toronto, Princeton: D. van Nostrand Company, 1965).
Malefijt, Annemarie de Waal, Religion and Culture: An Introduction to Anthropology of Religion. (New York: Macmillan Publishing Co., Inc.; London: Collier Mac-millan Publishers 1968).
Mallincrodt, J., Het Adatrecht van Borneo. Dua jilid. (Leiden: M. Dubbeldeman, 1928).
Nottingham, Elizabeth K., Religion and Society. (New York: Random House, 1954). Versi berbahasa Indonesia oleh Abdul Muis Mahawy, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. (Jakarta: Rajawali, 1985).
Sch@rer, Hans, Die Gottenidee der Ngadju Dajak im Shd Borneo. (Leiden: E.J. Brill, 1938). Edisi berbahasa Inggeris oleh Rodney Needam, Ngaju Religion: The Con-ception of God among a South Borneo People. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963).
Skeat, W.W., Malay Magic: Being an Introduction to the Folklore and Popular Religion of the Malay Peninsula. With a Preface by Charles Otto Blagden. (London: Macmillan & Co., Ltd, 1900).
Ven, A. van der, "Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjermasin" dlm Tijdschrift van het Bataviaasche Genootschaft, tahun ke 9, 1860, hlm 93-133.
Vergouwen, J.C. Lihat Muhammad Lelang.
Wallace, Anthony F.C., Religion: An Anthropological View. (London: Random House, 1966).

Tidak ada komentar: