Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Februari 2011

Sayyid Amir Ali

PENDAHULUAN

Dalam sejarah dan peradaban umat Islam telah dijumpai berbagai macam aliran pemikiran yang masing-masing mempunyai corak dan karasteristik tertentu. Perbedaan yang ada tentunya tidak dapat dinafikan begitu saja tanpa melakukan sebuah penyelidikan atau upaya untuk mencari grass root sebuah aliran pemikiran.

Hal ini dapat dicermati mulai dari priode klasik Islam (650-1250), priode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800 M dan seterusnya). Setiap periode mempunyai cirri dan keunikan tersendiri, terutama pada periode modern.

Periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam, yang ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Eropa yang pada akhirnya menjadikan umat Islam ini insaf atas kelemahan-kelemahannya serta sadar bahwa di Barat telah muncul sebuah peradaban baru yang lebih tinggi dan super power yang merupakan acaman yang serius terhadap umat Islam.

PEMBAHASAN

A . Riwayat Hidup Sayyid Amir Ali

Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga Syi’ah yang di zaman Nadir Syah (1736-1747) pindah dari Khurasan di Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di Istana Raja Mughal. Sayyid Amir Ali lahir di tahun 1849, dan meninggal dalam usia 79 tahun pada tahun 1928. Pendidikannya ia peroleh di perguruan tinggi Muhsiniyya yang berada di dekat kalkuta. Di sinilah ia belajar bahasa Arab. Selanjutnya ia belajar bahasa Inggris dan kemudiana juga sastra Inggris dan hukum Inggris.[1]

1. Jenjang Pendidikan

Pendidikannya ia peroleh di perguruan tinggi Mhsiniyyah yang berada di dekat kalkuta. Di sinilah ia belajar bahasa Arab. Selanjutnya ia belajar bahasa Inggris kemudian Sastra dan juga Hukum Inggris.[2]

Di tahun 1869 ia pergi ke Inggris untuk meneruskan studi dan selesai di tahun 1873 dengan memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum dengan menerbitkan karyanya dengan judul A Critical Examination of the Life and Teaching of Mohammed, buku pertama yang merupakan interpretasi kaum modernis Muslim tentang Islam, yang menjadikannya terkenal baik di Barat maupun di Timur.[3]

Selesai dari studi ia kembali ke India dan pernah bekerja sebagai pegawai Pemerintah Inggris, pengacara, dan guru besar dalam hukum Islam. Yang membuat ia lebih terkenal ialah aktivitasnya dalam bidang politik dan buku karangannya The Spirit of Islam dan A Short Story of the Saracens.[4]

2. Karir Politik dan Pemerintahan

Di tahun 1877 ia membentuk National Muhammaden Association yang merupakan wadah persatuan umat Islam India, dan tujuannya adalah untuk membela kepentingan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam bidang politik. Perkumpulan ini mempunyai 34 cabang di berbagai wilayan di India. Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Dewan Raja Muda Inggris (The Viceroy’s Council) di India. Ia adalah satu-satunya anggota Islam dalam majelis itu.[5]

Di tahun 1904 ia meninggalkan India dan menetap di London bersama isterinya yang berkebangsaan British asli. Perpindahannya ini dilakukan setelah ia berhenti dari Pengadilan Tinggi Bengal. Pada tahun 1906 ia diangkat menjadi anggota The Judicial Committee of the Privy Council (Komite Kehakiman Dewan Raja) di London, dan merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut. Seperti halnya Sir Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali juga merupakan seorang pemimpin Muslim yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pemerintahan Inggris di India.[6]

Dia melihat pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari pengaruh dan dominasi orang Hindu setelah memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Inggris. Setelah bermukim di London ia mendirikan cabang Liga Muslim (didirikan pada 1906).[7]

B . Pandangan dan Pemikiran Kalam Seyyid Amir Ali

1. Ajaran Tentang Akhirat

Dalam bukunya The Spirit of Islam di cetak untuk pertama kali di tahun 1891, Sayyid Amir Ali menjelaskan tentang akhirat, bahwa bangsa yang pertama kali menimbulkan kepercayaan pada kehidupan akhirat adalah bangsa Mesir. Agama Yahudi pada mulanya tidak mengakui adanya hidup selain hidup di dunia, namun dengan adanya pekembangan dalam ajaran-ajaran Yahudi yang timbul kemudian baru dijumpai adanya hidup yang kedua. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada umumnya menggambarkan bahwa di hidup kedua itu manusia akan memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Lebih lanjut lagi ajaran ini membawa kepada peningkatan moral golongan awam, apabila ganjaran dan balasan di akhirat digambarkan dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indera.[8]

2. Perbudakan

Dalam membahas soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah semenjak zaman purba ada dalam masyarakat manusia seluruhnya. Bangsa Yahudi, Yunani, Romawi, dan Jerman di masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan. Agama Kristen, demikian ia selanjutnya menulis, tidak membawa ajaran untuk menghapus sistem perbudakan itu.

Islam, berlainan dengan agama-agama sebelumnya, datang dengan ajaran untuk menmbebaskan sistem perbudakan. Dosa-dosa tertentu dapat ditebus dengan memerdekakan budak. Budak harus diberi kesemapatan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak harus diperlakuakan dengan baik dan tidak boleh diperbedakan dengan manusia lain. Oleh karena itu, dalam Islam, ada di antara budak-budak yang akhirnya menjadi perdana menteri.[9]

3. Kemunduran Umat Islam

Kemunduran umat Islam, ia berpedapat bahwa sebabnya terletak pada keadaan umat Islam di zaman modern menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan oleh karena itumengadakan ijtihad tidak boleh lagi, bahkan meruapakan dosa. Orang harus tunduk kepada pendapat ulama abad ke-9 Masehi, yang tidak dapat mengetahui kebutuhan abad ke-20. Perubahan kondisi yang dibawa perubahan zaman tidak dipentingkan. Pendapat ulama yang disusun pada beberapa abad yang lalu diyakini masih dapat dipakai untuk zaman modern sekarang.[10]

Kemajuan ilmu pengetahuan ini dapat dicapai oleh umat Islam di zaman itu, karena mereka kuat berpegang pada ajaran nabi Muhammad dan berusaha keras untuk melaksanakannya. Eropa di waktu yang bersamaan masih dalam kemunduran intelektual. Kebebasan berpikir belum ada. Islamlah yang pertama membuka pintu bagi berpikir. Dan inilah membuat umat Islam menjadi promotor ilmu pengetahuan dan peradaban. Ilmu pengetahuan dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari kebebasan berpikir. Setelah kebebasan berpikir menjadi kabur di kalangan umat Islam, mereka menjadi ketinggalan dalam perlombaan menuju kemajuan.[11]

6. Konsepsi tentang Free Will and Free Act

Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan falsafat dalam Islam, Sayyid Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Jiwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Nabi Muhammad, demikian ia menulis lebih lanjut, berkeyakinan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan. Apa yang hendak ditegaskan pemimpin ini sebenarnya ialah bahwa Islam bukan dijiwai oleh paham qada’ dan qadar atau jabariah, tetapi oleh paham Qadariah, yaitu paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan (free will and free act). Paham qadariah selanjutnya yang menimbulkan rasionalisme dalam Islam. Paham qadariah dan rasionalisme, kedua inilah pula yang menimbulkan peradaban Islam zaman klasik.[12]

7. Pandangan terhadap Muktazilah

Selanjutnya ia menguraikan peranan yang dipegang golongan Muktazilah dalam perkembangan ilmu pengetahuna dan filsafat dalam Islam. Aliran Muktazilah untuk beberapa abad mempengaruhi pemikiran umat Islam. Disokong oleh raja-raja yang berpikiran luas, kaum Muktazilah membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Ahli-ahli ilmu pengetahuan, sebagai dokter penyakit, ahli fisika, ahli matematika, ahli sejarah, pendeknya semua ahli dan khalifah di waktu itu, termasuk dalam golongan Muktazilah..

Melalui Mu’tazilah, rasionalisme Islam meluas ke seluruh masyarakat terpelajar yang ada di kerajaan Islam ketika itu bahkan sampai ke perguruan-perguruan yang letaknya sejauh Andalusia (Spanyol Islam). Kaum rasionalis Islam memberi ceramah-ceramah bukan di perguruan tinggi saja, tetapi juga di masjid-masjid. Merekalah pula yang merupakan penasehat bagi khalifah. Untuk menduduki jabatan menteri, gubernur, mahaguru dan sebagainya kaum Muktazilah banyak dipakai. Melalui merekalah terjadinya perubahan umat Islam dari umat yang sederhana kebudayaannya menjadi umat yang tinggi peradabannya.[13]

C . Seyyed Amir Ali dan Apologi Islam

Sayyid Amir Ali berusaha untuk membuktikan pada dirinya atau orang lain bahwa Islam adalah baik. Sebenarnya mengetahui masalh apologi ini merupakan suatu hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin memahami pemikiran–pemikiran modern dalam dunia Islam. Karena sebagian besar pemikiran kaum modernis masuk pada kategori ini.

Meraka berusaha untuk melawan pandangan-pandangan yang salah tentang Islam lebih daripada menerangkan Islam itu sendiri, dan mereka ingin menjadi pembela Islam lebih daripada usaha untuk memahami Islam.[14]

KESIMPULAN

Sayyid Amir Ali berasal dari keluarga Syi’ah yang berhijrah dari Persia ke India dan akhirnya menjadi pejabat Istana kerajaan Munghal. Dari sanalah Sayyid Amir Ali memulai pendidikannya dengan mempelajari bahasa Arab kemudian bahasa dan sasrta Inggris.

Selanjutnya ia menempuh studi di Inggris dan menjadi seorang ahli dalam hukum Inggris, kemudian ia kembali ke India dan terlibat dalam dunia akademisi dan politk sekaligus berafiliasi dengan pemerintahan Inggris, hal ini merupakan suatu upaya untuk memperjaungkan kepentingan umat Islam, tidak hanya yang ada di India, tetapi juga keutuhan khilafah Utsmania di Turki.

Pandangan Sayyid Amir Ali tidak hanya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran dan teologi, seperti tauhid, ibadat, hari kiamat, kedudukan wanita, perbudakan, sistem politik dan sebagainya. Kelemahan umat Islam tentang pintu ijtihad telah tertutup, kebebasan kehendak dan perbautan manusia (free will and free act), pandangan terhadap rasionalisme kaum Mu’tazilah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Alam Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2003.



[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 174.

[2] Ibid, hlm. 147

[3] H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 142.

[4] Ibid, hlm. 174.

[5] Ibid, hlm. 147

[6]Ibid, hlm 143.

[7] Ibid. hlm 143

[8] Ibid. hlm 178.

[9] Ibid .hlm 179.

[10] Ibid, hlm 180.

[11] Ibid, hlm181.

[12]Ibid.

[13] Ibid.

[14]Ibid, hlm 143.

Tidak ada komentar: