Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Kamis, 03 Februari 2011

MADIHIN MERUPAKAN KESENIAN TRADISIONAL MASYARAKAT BANJAR SEBAGAI MEDIA DAKWAH ISLAM

PENDAHULUAN

Jika dilihat dari bentuk dan jenisnya maka madihin sebagai kesenian tradisional masyarakat Banjar dapat digolongkan kepada jenis sastra lama yang berbentuk puisi atau pantun. Akan tetapi walaupun demikian madihin sendiri mempunyai karakteristik yang cukup unik, sebab ia merupakan perpaduan dari tiga unsur seni, yakni seni suara (syair/lagu), seni musik dan seni gerak (mimik).
Dalam masyarakat Banjar sendiri kesenian madihin sebagai suatu permainan sudah lama tumbuh dan berkembang. Di mana tumbuh dan berkembangnya seiring dengan perkembangan berbagai bentuk kesenian dan sastra Banjar yang lainnya, yang umumnya disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut oleh para tokoh yang memang mempunyai keahlian khusus dalam menyajikan sastra secara turun-temurun, sehingga dalam berbagai kesempatan mereka menyampaikan kisah, hikayat, dongeng dan sejenisnya, dalam hal ini termasuk kesenian madihin.
Perkembangan pada saat sekarang ini permainan madihin hanya mempunyai tiga tujuan pokok, yakni sebagai sarana mendidik masyarakat, sebagai sarana hiburan sekaligus sarana untuk mendorong dan memotivasi masyarakat untuk meningkatkan prestasi atau etos kerjanya, dalam rangka ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Sedangkan tujuan magis tidak dilaksanakan lagi sebab dianggap sebagai sesuatu yang bersifat syirik, karenanya dalam pergelarannyapun tidak diperlukan lagi sesajen atau piduduk tertentu sebagai prasyarat yang biasanya harus dipenuhi sebagaimana pada masa awalnya.
Karena permainan madihin merupakan sesuatu yang telah lama tumbuh dan berakar dalam masyarakat Banjar serta karakteristik yang dimiliki, maka di bawah ini akan diuraikan bagaimana kesenian madihin dapat digunakan sebagai media dalam rangka kegiatan dakwah Islam.


PEMBAHASAN

A . Tinjauan Latar Belakang Budaya Kesenian Madihin
1. Asal Kata Madihin
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kata madihin berasal dari bahasa Banjar, yaitu papadahan atau mamadahi yang berarti memberi nasihat. Pendapat ini boleh jadi disandarkan pada materi madihin, di mana hampir semua isi dari pantun atau syair dinyanyikan oleh seorang pemadihin mengandung nasihat-nasihat tertentu. Nasihatnasihat tersebut bisa berkenaan dengan masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, pendidikan, pembangunan dan lain-lain sesuai dengan keinginan dari penyelenggara kesenian Madihin. Tema Madihin yang berkenaan dengan pembangunan tersebut dapat dilihat pada tulisan Jumberi berikut:
Bahasa daerah Banjar Bahasa Indonesia
Kita sakalian handaklah maju Kita semua hendaklah maju
Guna kabaikan sianak cucu Untuk kebaikan anak dan cucu
Pawaris kita ganarasi baru Pewaris kita generasi baru
Zaman wayah ini zamannya Zaman sekarang zamannya
Indonesia baru Indonesia baru
Zaman pambangunan saling Zaman pembangunan saling
mambantu membantu
Semua masyarakat haruslah tahu Semua masyarakat harus tahu
Agar tercapai adil dan makmur Agar tercapai adil dan makmur
nang kita tuju yang kita kehendaki
Samua rakyat haruslah bersatu Semua rakyat harus bersatu

Seorang tokoh pamadihinan Utuh Sahiban menyatakan bahwa madihin berasal dari kata madihan, yang mungkin karena perubahan bunyi dari kata madah, sehingga dari kata madah itu selanjutnya berubah menjadi madihin karena pengaruh dialek atau pengaruh bunyi. Sementara itu selaras dengan pendapat di atas, sejarawan Kalimantan
Selatan, Syamsiar Seman dalam tulisannya tentang Kesenian Lamut dan Madihin sebagai Media Tradisional yang Komunikatif dan disampaikan dalam forum rapat koordinasi Sosiodrama Propinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 23-25 Mei 1981 di Banjarmasin berpendapat bahwa, nama madihin berasal dari kata madah, yakni sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia atau yang biasa dinamakan dengan pantun, karena dalam kesenian madihin seorang pemadihin biasanya menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi.
2. Riwayat Kesenian Madihin
Asal mula riwayat adanya kesenian madihin pada masyarakat Kalimantan Selatan sulit dipastikan. Ada yang menyatakan bahwa kesenian madihin berasal dari Kecamatan Paringin, Kabupaten Hulu Sungai Utara, sebab dahulu tokoh madihin Dulah Nyangnyang lama bermukim di Paringin dan mengembangkan kesenian madihin di sana, sehingga akhirnya madihin teersebar luas dan dikenal oleh masyarakat di seluruh propinsi Kalimantan Selatan.
Ada yang berpendapat bahwa madihin asli berasal dari daerah Kalimantan Selatan sendiri, yakni dari kampung Tawia Kecamatan Angkinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dari kampung Tawia inilah kemudian tersebar ke seluruh wilayah propinsi Kalimantan Selatan, bahkan sampai ke Kalimantan Timur. Karena itu wajar jika pemain kesenian madihin yang terkenal dan tersebar pada umumnya berasal dari kampung Tawia, salah satunya adalah Dulah Nyangnyang.
Di samping dua pendapat di atas tentang asal-usul kesenian madihin, sebagian sejarawan ada juga yang berpendapat bahwa kesenian madihin sebenarnya berasal dari utara Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan negara Malaysia (Malaka). Pendapat ini diperkuat dengan adanya dan persamaan bentuk gendang tradisional yang dimainkan dan syair yang dinyanyikan dalam kesenian madihin dengan syair yang dinyanyikan dan dipakai oleh orang-orang dari tanah semenanjung Malaka dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.
3. Perkembangan Kesenian Madihin
Pada mulanya kesenian madihin dibawakan hanya oleh seorang pemain saja, yang disebut dengan pemadihin dan hanya ditampilkan pada saat upacara-upacara tertentu dalam masyarakat Banjar, sehingga dalam setiap pelaksanaan madihin harus dilengkapi berbagai peralatan yang umumnya disyaratkan dalam suatu upacara. Perlengkapan tersebut antara lain adalah:
1. Tilam (kasur) berukuran kecil untuk tempat duduk pemain madihin
2. Piduduk (sesajen) yang berisikan nasi ketan putih dengan inti kelapa gula merah, telor ayam 3 biji, pisang mahuli atau pisang emas serta berbagai jenis kue khas daerah Banjar seperti apam (warna merah dan putih), cucur, kakoleh dan lain-lain
3. Perapian dengan dupa (yang berfungsi untuk mengasapi tarbang/rebana agar lebih baik) dan minyak baboreh
4. Terbang (rebana) berukuran kecil dan babun (gendang) yang telah diukupi oleh asap dupa sebagai alat musik yang akan mengiringi syair yang dilagukan oleh pemain madihin
5. Pemain harus memakain pakaian adat khas daerah Banjar.
Namun pada perkembangan berikutnya dan sekarang ini kesenian madihin bisa dimainkan oleh dua orang pemadihin (duet) maupun oleh beberapa orang secara berkelompok (beregu), tiap kelompok bisa terdiri dari dua orang atau tiga orang pemain, bahkan bisa lebih. Kemudian para pemainnya pun tidak terbatas atau didominasi oleh para pria saja, namun para wanitapun juga bisa memainkannya, sehingga jika dimainkan secara berkelompok akan terjadi semacam perlombaan balas pantun atau syair yang seru.
Di samping itu pula madihin tidak lagi dianggap sebagai suatu bagian dari upacara yang harus dilengkapi oleh persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya sesajen dengan berbagai jenis makanan. Akan tetapi sudah dianggap sebagai sarana hiburan yang menyenangkan bagi masyarakat, sehingga baik penyelenggara ataupun pemain madihin tidak perlu menyiapkan perlengkapan yang rumit sebagaimana halnya pelaksanaan suatu upacara.
Kesenian madihin ini sangat digemari oleh masyarakat di Kalimantan Selatan, baik orang-orang tua, remaja ataupun anak-anak, sebab isi syair yang dinyanyikan sarat dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat dan selalu diselingi oleh humor-humor segar. Mengingat kesenian ini selalu dapat mengikuti perkembangan situasi dan kondisi pada saat ditampilkan, termasuk dalam memenuhi selera penontonnya, maka sampai sekarangpun madihin tetap eksis, melekat dan diterima oleh masyarakat Banjar secara luas sebagai bentuk kesenian tradisional.
Pada masa sekarang ini kesenian madihin berperan dalam membantu pemerintah untuk menyebarluaskan hasil-hasil pembangunan. Bahkan kesenian madihin telah pula diikutkan pada festival budaya Islam di Masjid Istiqlal tahun 1991, dan temu budaya Melayu di Riau tahun 1992, ditampilkan di TVRI dalam acara HUT TVRI tahun 1992, kemudian ditampilkan lagi pada acara jumpa seniman dan tokoh TVRI tanggal 14 Desember 1992, dan terakhir ditampilkan oleh seorang pemadihin muda (Ahmad Sya’rani, Alumni Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin) di TVRI Pusat di Jakarta dalam Acara Dua Jam Saja pada tahun 1999.
Dengan demikian jelaslah bahwa kesenian madihin sebenarnya sudah menasional, karena ia tidak hanya akrab dan dikenal oleh masyarakat Banjar umumnya, akan tetapi juga sudah dikenal oleh di luar komunitas masyarakat Banjar.
4. Fungsi Kesenian Madihin
Fungsi utama kesenian madihin pada waktu dulu adalah sebagai bagian dari upacara adat masyarakat Banjar dan untuk menghibur raja atau pejabat istana, sehingga syair dan pantun yang dinyanyikan berisikan puji-pujian maupun sanjungan kepada raja dan pejabat istana lainnya. Hal ini selaras dengan pendapat yang menyatakan bahwa madihin berasal dari kata madah yang berarti kata-kata pujian.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya kesenian madihin berfungsi menjadi sarana nadzar atau hajat sebagai ungkapan rasa syukur. Misalnya bagi orang tua yang anaknya baru sembuh dari rasa sakit, fungsi ini pada tahun 1980-an masih terdapat di beberapa daerah Kalimantan Selatan, yakni Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.
Pada masa sekarang ini madihin berfungsi ganda, di samping berfungsi sebagai sarana untuk menghibur masyarakat, madihin juga berfungsi sebagai media pendidikan kepada masyarakat dan media penyampaian pesan-pesan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Misalnya tentang masalah keluarga berencana, pertanian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain
5. Pergelaran Kesenian Madihin
Kesenian madihin pada umunya dipergelarkan pada waktu malam hari, tetapi sekarang ini juga sering dipergelarkan pada siang hari, di lapangan terbuka maupun dalam sebuah gedung tertutup. Waktu pergelaran biasanya berkisar antara 2 sampai 3 jam. Pergelaran kebanyakan dilakukan di arena terbuka, yang terletak di halaman rumah atau lapangan yang luas. Hal ini tentunya dimaksudkan agar dapat menampung jumlah penonton yang banyak. Tempat pergelarannya hanyalah panggung yang sederhana dengan ukuran kirakira 4 X 3 meter. Selain di tempat terbuka kesenian madihin sering pula dipergelarkan di dalam rumah yang cukup besar, bahkan sekarang ini madihin juga dipertunjukkan di gedung-gedung tertentu dan kantor-kantor yang disediakan oleh pengundang.
Menurut kebiasaan kesenian madihin dibawakan oleh 2 sampai 4 orang pemadihin. Apabila pergelaran ditampilkan oleh dua pemadihin, maka kedua orang pemain tersebut seolah olah beradu atau bertanding, saling menyindir atau kalah-mengalahkan melalui syair dan pantun yang mereka bawakan. Apabila dibawakan oleh 4 orang pemadihin (misalnya 2 orang pria dan 2 orang wanita), maka mereka membentuk pasangan satu orang wanita dalam satu kelompok, atau kelompok yang satu terdiri atas 2 orang laki-laki dan kelompok yang satunya lagi 2 orang wanita.
Kesenian madihin ditampilkan oleh pemainnya dengan cara memukul tarbang (rebana) sambil mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa daerah Banjar. Setiap kalimat dalam setiap bait diakhiri dengan kata atau suku kata yang sama bunyinya, misalnya bunyi/huruf a, huruf i, huruf o, huruf u dan lain-lain, sebagaimana halnya syair atau pantun yang pola persajakannya aa.
Adapun isi pesan yang terkandung di dalam kalimat-kalimat tersebut bisa menyangkut semua aspek kehidupan, sesuai dengan kehendak pemain dan tema pesanan atau permintaan panitia penyelenggara, karena itu ia bisa menyangkut masalah pendidikan, kesehatan, pembangunan, agama, ataupun masalah-masalah yang lainnya. Ciri khas yang selalu ada dalam materi penyampaian madihin tersebut adalah nasihat atau papadahan, dan kadang-kadang juga humor. Syair-syair yang disampaikan tersebut tanpa dipersiapkan terlebih dahulu (berupa catatan tertulis) namun disampaikan oleh pemadihin secara spontanitas sesuai dengan improvisasi (daya imajinasi) mereka, karena itulah suasana pergelaran madihin terlihat aktual dan komunikatif dengan penonton yang menyaksikan.
Dalam memainkan madihin seorang pemain bisa duduk di atas kursi maupun di atas panggung yang telah disediakan, biasanya mereka memakai pakaian daerah khas Banjar yakni baju taluk balanga atau baju khas daerah Banjar Sasirangan, memakai kopiah atau laung (penutup kepala) dan celana panjang serta sarung antara pinggang sampai lutut, sebagaimana halnya pakaian adat khas masyarakat Melayu. Akan tetapi pada masa sekarang ini pakaian khas Melayu seperti di atas tidak lagi menjadi kebiasaan pemadihin, mereka lebih senang dengan pakaian bebas tetapi cukup sopan. Kecuali pada acara-acara penting, misalnya menghibur tamu-tamu gubernur, pejabat pemerintah, menghibur penonton pada acara pisah-sambut pejabat suatu instansi atau kantor, turis-turis lokal dan mancanegara yang berkunjung, festival kesenian rakyat dan lain-lain.
6. Struktur Pergelaran Kesenian madihin
Dalam pergelaran kesenian madihin terlihat adanya struktur pergelaran yang terdiri dari:
1. Pembukaan
Pembukaan diawali dengan memukul tarbang tanpa diikuti oleh nyanyian berupa syairsyair dan pantun. Setelah dirasa cukup baru diikuti dengan nyanyian berupa syair-syair dan pantun yang isinya menyampaikan salam pembukaan dan penghormatan kepada para penonton, juga diungkapkan bayangan dari ide atau pikiran yang akan disampaikan melalui kesenian madihin tersebut. Sebagai contoh berikut ini adalah kutipan syair pembuka kesenian madihin yang dipentaskan dalam memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu:
Bahasa daerah Banjar Bahasa Indonesia
Ilahi................................... Ilahi.......................................
Barmula kita mambikin angka Kita awali dengan membuat angka
Kartas putus di laci mija Kertas putus di laci meja
Asallah mula kita mardika Awalnya kita merdeka
Tujuh belas Agustus Tujuh belas Agustus sembilan
sambilan balas ampat lima belas empat lima

Berdasarkan isi syair di atas sudah dapat diduga, bahwa ide atau pemikiran yang akan disampaikan nanti adalah hal-hal yang berkenaan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang penuh dengan cerita perjuangan dan pengorbanan rakyat ketika terjadi revolusi melawan penjajah.
Pembawaan syair atau pantun dalam pembukaan di atas sering pula disebut dengan istilah mambunga (pengantar/pembukaan awal), sebagaimana halnya dalam permainan pencak silat yang biasanya dibuka dengan memperagakan bunga-bunga pencak terlebih dahulu oleh seorang pesilat sebelum masuk kepada jurus yang sebenarnya.
2. Penyampaian Ide atau Gagasan Pikiran
Setelah pembukaan berakhir, diteruskan lagi dengan penyampaian ide atau gagasan pokok. Penyampaian gagasan pikiran ini dijalin melalui kalimat-kalimat berbentuk syair dan pantun. Isi dan temanya sesuai dengan permintaan panitia penyelenggara. Apabila gagasan masalah diserahkan kepada pemain, maka pemadihin akan menyampaikan isi dan tema sesuai dengan situasi dan kondisi tempat pergelaran kesenian madihin tersebut.
Sebagai contoh pergelaran kesenian madihin yang diadakan pada bulan Maulid (Rabiul Awal), dan dilaksanakan di daerah pertanian, maka ide yang akan disampaikan oleh pemadihin bisa berkenaan dengan perilaku kehidupan Nabi Muhammad Saw, yang diselaraskan dengan usaha pertanian. Dengan cara yang demikian, maka pergelaran kesenian madihin dapat menyentuh hati para petani yang menyaksikannya, sehingga madihin dapat menjadi media yang komunikatif.
3. Penutup
Untuk berhenti sementara atau akan mengakhiri pergelaran kesenian madihin, maka pemain biasanya menyampaikan salam penutup. Pengungkapannya juga melalui syair atau pantun yang bervariasi sesuai dengan improvisasi dari pemadihin dengan melihat situasi dan kondisi yang ada.
B. Madihin sebagai Media Dakwah
Dakwah merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengajak orang lain kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Dengan kata lain menurut Thoha Yahya Omar dakwah Islam adalah mengajak umat manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemashlahatan manusia dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Karena itu pada intinya pertama, dakwa merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan sengaja. Kedua, usaha atau aktvitas yang diselenggarakan itu berupa mengajak orang untuk beriman dan mentaati Allah swt atau memeluk agama Islam dan amar ma’ruf nahi munkar, yakni perbaikan dan pembangunan masyarakat untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup mereka serta pemberantasan sumber dan tindak kejahatan. Ketiga, proses penyelenggaraan usaha tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridhai oleh Allah Swt.
Berhasilnya tidaknya kegiatan dakwah ditentukan oleh lima komponen dakwah, yakni subyek dakwah (da’i), obyek dakwah (mad’u), massege dakwah (materi), metode dakwah (strategi dan teknik), media dakwah dan logistik dakwah (dana, alat-alat pendukung).
Media dakwah sebagai salah unsur yang cukup penting untuk tercapainya tujuan dakwah pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah, karena itu ia dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya. Dari sekian banyak media yang dapat dipergunakan untuk kegiatan dakwah tersebut lebih jauh menurut Asmuni Syukir adalah seni budaya. Pendekatan terhadap masyarakat atau obyek dakwah melalui seni budaya secara real telah dirintis dan dilakukan oleh para walisongo ketika menyebarkan Islam di pulau Jawa, di mana seni budaya yang dipakai untuk kegiatan dakwah oleh walisongo ketika itu adalah wayang kulit, lagu (syair/pantun). Dari seni budaya ini kemudian berkembang lagi melalui ludruk, ketoprak dan sebagainya.
Di Banjarmasin pun telah hidup berbagai kesenian dan budaya masyarakat Banjar yang secara spesifik juga bisa digunakan sebagai media dakwah yakni kesenian tradisional madihin. Kenapa kesenian ini bisa digunakan sebagai media dakwah? Alasannya adalah:
Pertama, Sebagai salah satu kesenian rakyat yang bersifat tontonan madihin telah telah lama hidup dan berkembang secara luas di Banjarmasin dan daerah-daerah sekitarnya, bahkan sampai ke propinsi tetangga Kalimantan Timur dan Tengah. Kesenian madihin sudah sejak dulu dipakai sebagai salah satu media komunikasi antara pihak kerajaan (raja atau pejabat istana) dengan rakyatnya. Sehingga sangat relevan jika madihin dikatakan sebagai salah satu kesenian rakyat yang sangat komunikatif bagi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
Kedua, di samping karena nilai pendidikan dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya, masyarakatpun merasa terhibur melalui musik pengiring dan lelucon sebagai penyeling yang disampaikan oleh pemadihin dalam syair atau pantun yang dibawakannya.
Ketiga, sebagai sarana komunikasi, kesenian madihin telah memenuhi unsurunsur utama yang harus terpenuhi untuk terjadinya interaksi dalam suatu proses komunikasi. Dengan kata lain bahwa madihin sebagai kegiatan komunikasi memiliki keselarasan dengan dakwah yang juga merupakan aktivitas komunikasi, sehingga kalau dalam dakwah Islam ada subyek (dai), obyek (mad’u), dan pesan dakwah (materi), maka dalam madihinpun ada unsur-unsur tersebut, yakni:
1. Unsur Komunikator atau Pemain
Pemain madihin yang disebut dengan pemadihin adalah unsur utama dalam kesenian ini,karena ia adalah sebagai komunikator. Dalam kesenian madihin unsur pemain ini meliputi: usia pemain, jenis kelamin pemain, kemampuan pemain dalam hal suara (vokal), bersyair, berlagu, berimprovisasi dan memukul tarbang (rebana).
2. Unsur Komunikan atau Penonton
Unsur ini meliputi semua lapisan masyarakat, sebab kesenian madihin cocok dengan semua golongan, baik kelompok orangtua, kelompok pemuda atau remaja maupun kelompok anak-anak. Karena seorang pemadihin adalah mereka yang memang pandai menyesuaikan situasi dan kondisi, isi dan tema materi dengan para penonton yang menghadirinya. Di samping itu pula adanya humor segar sebagai sebagai salah satu kelebihan dan daya tarik kesenian madihin sekarang, telah menyebabkan ia diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan baik.
3. Unsur Massage (isi pesan)
Materi yang disampaikan oleh seorang pemadihin pada dasarnya meliputi seluruh unsur kehidupan, yang jelas apa yang disampaikan oleh mereka sesuai dengan tema kegiatan acara dilaksanakan. Karena itu isinya bisa berkenaan dengan masalah pembangunan, kesehatan, pendidikan, agama dan lain-lain.
Itulah sebabnya secara efektif kesenian atau permainan madihin dapat digunakan sebagai media komunikasi, terutama dalam menyampaikan tema-tema keagamaan (dakwah) kepada masyarakat luas. Tema yang dimaksud di samping mengandung nilainilai dakwah, secara tidak langsung juga bisa disinergikan dengan nilai-nilai memberikan pendidikan atau dalam rangka memberi informasi kepada khalayak, dan juga bersifat memberikan hiburan (entertainment), karena humor-humor segar yang selalu diselipkan oleh pemadihin dalam penyampaian pesan dan isi materinya.
Keempat, Sebagaimana dimaklumi bahwa sasaran atau mereka yang menjadi obyek dari kegiatan dakwah umumnya bersifat heterogen sehingga masing-masing obyek memiliki sifat dan karakteristik yang unik, karenanya mereka akan lebih mudah untuk didekati dengan media-media yang mempunyai unsur-unsur permainan dan hiburan (entertainment) yang mudah, murah dan meriah, serta mencakup seluruh unsur lapisan masyarakat, seperti halnya madihin.
Kelima, Menurut Ochoa permainan merupakan sarana komunikasi dan proses dialogis yang efektif di antara warga masyarakat, karenanya ia bisa digunakan sebagai sarana interaktif, sarana untuk memotivasi warga agar lebih bisa aktif dan bisa memerankan fungsinya sebagai anggota masyarakat, sarana mentranspormasikan keterampilan kognitif dan efektif, sarana untuk mengenalkan penggunaan huruf dan angka bagi kenyataan hidup di masyarakat serta sebagai sarana untuk membangun rasa percaya diri dari warga masyarakat. Karena itu kesenian madihin dalam konteks ini memiliki fungsi urgen dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mentranspormasikan nilai-nilai keislaman kepada masyarakat luas, sebagaimana yang diperintahkan dalam Qur’an surat an-Nahl 125.
Keenam, jika diamati dengan seksama jelaslah bahwa materi atau massage yang disampaikan dalam permainan madihin bisa diisi dengan nilai-nilai agama dan edukatif yang dapat ditransmisikan secara luas dan diadopsi oleh masyarakat, misalnya tema madihin tentang Membangun Keluarga Sakinah Sejahtera, Menuntut Ilmu, Bersyukur, Maulid Nabi dan lain-lain.
Ketujuh, di samping itu hal yang terpenting dari perlunya madihin digunakan sebagai media dakwah adalah bahwa kesenian ini dapat mendorong aktivitas dan kegairahan masyarakat dalam melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama.
Proyek Pendidikan Non Formal Universitas Massachusets Amerika Serikat di Ecuador dalam buku Non Formal Education in Ecuador 1971-1975 mengajukan tentang kriteria-kriteria pokok media yang dapat dipergunakan untuk memotivasi kehidupan masyarakat diberbagai bidang, yang salah satunya adalah kehidupan beragama, yaitu:
1. Media berupa kesenian daerah (bersifat lokal) merupakan satu budaya yang telah dikenal dan berakar di masyarakat
2. Media tersebut mampu menumbuhkan motivasi, karena menyenangkan untuk digunakan dan menarik perhatian
3. Media tersebut harus memiliki relevansi dengan situasi masyarakat yang menjadi obyek dan sejauh mungkin berkaitan dengan budaya setempat, karenanya materi yang disampaikanpun harus memiliki kaitan dengan apa yang menjadi masalah hidup sehari-hari masyarakat
4. Media tersebut memungkinkan masyarakat untuk ikut serta aktif dan berpartisapasi di dalamnya.
Berdasarkan kenyataan di atas jika dianalisis lebih jauh lagi, maka jelaslah bahwa kesenian madihin sudah memenuhi unsur-unsur atau kriteria-kriteria yang cukup baik dari Proyek Pendidikan Non Formal Universitas Massachusets Amerika Serikat untuk diterapkan dalam rangka menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat, yaitu :
1. Memenuhi dan merupakan faktor budaya, baik dari segi meliputi bahasa, tradisi, pakaian dan lain-lain, sehingga ia mempunyai akar sejarah yang kuat untuk diterima secara luas oleh masyarakat.
2. Tingkat partisipasi dan motivasi masyarakat untuk terlibat dalam kesenian madihin tersebut cukup memungkinkan, sehingga dialog yang terjadi antara da’i dengan mad’u tidak hanya bersifat monolog, akan tetapi bisa terjadi multi arah manakala da’i yang pemadihin bisa memberikan respon atau rangsangan kepada obyek dakwahnya dengan baik. Persis seperti pergelaran musik, yang memungkinkan penonton untuk ikut bernyanyi.
3. Tingkat kegunaan dari kesenian madihin pada masyarakat tidak hanya berhenti pada kegiatan tersebut sebagai sarana hiburan semata, akan tetapi adanya usaha mereka untuk menerapkan materi-materi yang telah didapat dan disampaikan pemadihin (misalnya materi atau penyampaian pesan tentang agama dan membangun/membina keluarga sejahtera).
4. Kesenian madihin sangat cocok dan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat Banjar di seluruh propinsi Kalimantan Selatan, baik orang tua, pemuda maupun anak-anak, bahkan penyebarannya sampai kepada propinsi Kalimantan Timur dan Tengah.
5. Karena memadukan berbagai unsur seni, yakni vokal, mimik, musik dan irama (lagu) serta tingkat variasi yang cukup tinggi, maka kecil kemungkinan timbulnya rasa bosan dalam kesenian madihin, terlebih-lebih lagi manakala pemadihin mampu memberikan improvisasi humor seperti yang biasa dilakukan oleh pelawak John Tralala.
6. Kesenian madihin merupakan bagian dari budaya masyarakat Banjar dalam mengekspresikan seni suara, gerak, musik dan lagu (syair).
Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka kesenian madihin perlu untuk dikembangkan menjadi model atau media kegiatan dakwah Islamiyah yang dirancang khusus. Sebab sebagaimana di katakan oleh Moch. Saperi Kadir, di samping nilai estetika yang dikandungnya, madihin juga memiliki nilai-nilai spiritual yang mampu mempengaruhi dan menyentuh perasaan para penontonnya. Tinggal memodifikasi dan menyesuaikannya dengan aktivitas dan materi dakwah, serta ketentuan-ketentuan yang telah ada agar dapat diterapkan menjadi perangkat-perangkat yang bersifat agamis dan edukatif dalam rangka membantu masyarakat mengadakan refleksi terhadap apa yang dihadapi, mengembangkan kemampuan konseptual, menjabarkan konsep-konsep agama ke dalam aktivitas yang bersifat praktis dan akhirnya menerapkannya ke dalam tindakan nyata.


PENUTUP
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis uraikan di atas dan sesuai dengan kriteria kriteria pokok yang telah disarankan oleh para ahli, maka dapatlah disimpulkan bahwa kesenian madihin sebagai salah satu kesenian tradisional masyarakat Banjar mempunyai karakteristik yang cocok untuk digunakan sebagai media dalam kegiatan dakwah Islamiyah. Sebab di samping berbagai kelebihan yang dimilikinya kesenian madihin juga sudah dikenal, tumbuh dan berakar dalam masyarakat Banjar.
Karena itu hal terpenting dalam rangka penggunaan kesenian madihin sebagai media dakwah adalah perancangan dan pemodifikasiannya, agar sesuai dengan karakteristik materi dakwah itu sendiri.
Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah.


DAFTAR PUSTAKA

Rosyad Shaleh, A. Management Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al Ikhlas, 1983.
Umary, Barmawie. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Solo: Ramadhani, 1987.
Omar, Thoha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Widjaya, 1976.
http://www.docstoc.com/docs/58198897/Madihin-sebagai-Media-Dakwah.
http://hasanzainuddin.wordpress.com/seni-banjar/

Tidak ada komentar: