Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Februari 2011

Syekh Yusuf al-Makassari

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi

Syaikh Yusuf Taj al-Khalawati al-Makassari dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1032 H bertepatan dengan tanggal 23 Juni 1627 M.[1] Ia berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makasar. Sejak kecil ia diajar serta dididik secara Islam di tanah Bugis. Ia diajar mengaji oleh guru bernama Daeng ri Tassammang sampai tamat. Di usianya yang ke-15 tahun, Syah Yusuf mencari ilmu ke tempat lain, yaitu mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaludin al-Aidit. Pada tanggal 22 September 1644, ia meninggalkan Gowa menuju pusat Islam yaitu Makkah.[2] Ia sempat singgah di Banten, Aceh dan Yaman. Di Aceh dan di Yaman beliau menerima ijazah tarekat Naqsyabandiyah dengan amalan-amalannya serta silsilahnya, sampai ia diberi gelar “al-Taj” yang dipakai pada namanya sampai akhir hayatnya. Setelah berguru di Yaman dengan mengambil tarekat dan silsilahnya barulah beliau menuju ke Makkah. Selepas berguru dengan Syekh Ahmad al-Qasyasy, Mulla Ibrahim al-Kawrani dan Hasan al-‘Ajamy di Madinah, beliau menerima ijazah dan silsilah tarekat Syattaiyah dari gurunya Syah Mulla Ibrahim al-Kawrany.[3] Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, beliau pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu al-Barakat Ayyub al-Khalawati al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf. Kemudian beliau meneruskan pengajiannya ke Istambul (Turki).[4]

Pada tahun 1664 beliau kembali ke tanah air setelah merantau sekitar dua puluh tahun lamanya.[5] Kemuadian beliau pergi ke Banten. Di sana ia dinikahkan dengan anak perempuan Sultan dan diangkat menjadi Mufti dan penasehat raja. Di sana diteruskan dakwahnya serta ditiupnya semangat jihad menentang penjajahan. Pada tanggal 14 Desember 1683, ia dibuang ke Seylon (Srilanka). Di sana beliau terus mengajar agama Islam dan mengembangkan ilmu-ilmunya di Srilanka.[6] Pada tahun 1693, ia bersama anak istri dan pengikutnya diasingkan lagi oleh Belanda ke Tape Town di Afrika Selatan. Beliau meninggal dunia di sana pada tanggal 22 Zulkaedah atau 23 Meni 1699.[7]

Atas permintaan raja dan keluarganya, peninggalan mayat Syakh Yusuf dibawa kembali ke Makasaan dan dikebumikan di Lakiung, Makasar. Makam ke-2 nya di Makasar itu berada dalam makam keluarga raja-raja dan ulama-ulama. Kedua makamnya yang di Afrika dan di Makasar sangat dimulyakan sampai sekarang.

B. Jaringan Keilmuan

1. Dari Sulawesi ke Banten dan Arabia

Pada bulan Rajab 1054 H/September 1644 M, al-Makassari meninggalkan Makasar menuju Arabia. Dia naik sebuah kapal Melayu dan berhenti di pelabuhan Banten. Ketika al-Makassari tiba di Banten yang sedang berkuasa adalah Abu al-Mafakhir ‘Abd al-Qadir (1037 – 1063/1626 – 1651). Dia jelas mempunyai minat khusus pada masalah-masalah keagamaan. Kemudian dia mampu menjalin hubungan pribadi yang erat dengan kalangan elite kesultanan Banten, terutama dengan putra mahkota yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan mengikuti rute perdagangan, al-Makassari berangkat menuju Aceh. Diriwayatkan, sementara dia berada di Banten dia telah mendengar tentang ar-Raniri dan bermaksud belajar kepadanya. Sementara itu, al-Raniri telah meninggalkan Aceh menuju tanah kelahirannya Ranir (1054/1644). Mengingat penjelasan ini, ada kemungkinan al-Makassari mengikuti al-Raniri ke India. Dengan segala kemungkinan itu, aganya dari pantai Gujaratlah al-Maqasari melanjutkan perjalanannya menuju Timur Tengah. Tujuan perjalanannya adalah Yaman. Di sini, dia belajar terutama di Zabid, dengan Muhammad ‘Abd al-Baqi al-Naqsabandi. Beliau adalah salah seorang ulama terpenting dari keluargaMizyaji pada abad ke-17. Al-Baqi adalah perintis di antara ulama Mizyaji yang memainkan peranan semakin penting dalam perluasan jaringan ulama ke banyak bagian dunia Islam. Al-Makassari mengatakan, dia mengambil tarekat Naqsabandiyah dari ‘Abd al-Baqi.[8]

Guru utama al-Makassari yang kedua di Yaman adalah Sayyid ‘Ali al-Zabid atau Ali Abi Bakr menurut silsilah al-Makassari dari tarekat Ba ‘Alwiyah. Kemudian perjalanannya dilanjutkan ke Haramuyn (Makkah dan MAdinah). Masa studinya di Haramayn bersamaan dengan masa studi al-Sinkili. Yang paling penting di antara guru-gurunya di Haramayn adalah Ahmad al-Qusyasy, Ibrahim al-Kurani, dan Hasan al-Ajami. Setelah belajar di Haramayn, al-Makassari mengadakan perjalanan ke Damaskus, ini merupakan saran dari Muhammad Mirza, agar ia belajar di sana. DI sana ia belajar kepada Ayyub al-Khalwati, setelah menunjukkan bakatnya untuk menyerap ilmu-ilmu eksoteris dan esoteris, kemudian ia diberi gelat “Al-Taj al-Khalwati” (Mahkota Khalwati). Setelah belajar di Damaskus, al-Makassari melanjutkan perjalanan ke Istambul. Al-Makassari diriwayatkan menikahi putri Imam Mazhab Syafi’I di Mekkah, tetapi istrinya meninggal dunia ketika melahirkan anaknya, dan al-Makassari menikah lagi di Jeddah dengan seorang wanita yang berasal dari Sulawesi sebelum dia akhirnya kembali ke Nusantara.[9]

2. Dari Banten ke Srilanka dan Afrika Selatan

Hamka, Amansyah, Mattulada, dan Pelras menyatakan al-Makassari mula-mula kembali ke Sulawesi Selatan sebelum dia selanjutnya ke Banten. Sebaliknya Hamid, Labbakang dan Dangor percaya bahwa al-Makassari menetap di Banten ketika dia kembali ke Nusantara dan tidak pernah kembali ke Gowa. Akan tetapi lebih besar kemungkinan al-Makassari langsung pergi ke Banten dan bukannya ke Gowa. Dia mungkin merencanakan singgah di Banten sebentar dalam perjalanannya pulang ke tanah airnya tetapi perkembangan selanjutnya mendorong berubah pikiran. Setelah beberapa bulan di Banten, dia menikah dengan putri Sultan Ageng di Banten. Ketika al-Makassari kembali dengan membawa keunggulam keilmuan, Sultan Ageng dengan segala cara termasuk lewat tali perkawinan berusaha untuk menahan di Banten.[10] Pada tanggal 14 Desember 1683, al-Makassari ditangkap oleh Belanda, kemudian pada bulan September 1684 dia bersama dengan kedua istrinya, beberapa anak, 12 muria serta sejumlah pelayan perempuan diasingkan ke Srilanka. Di Srilanka al-Makassari justru menghasilkan sebagian besar karyanya diantaranya yang berjudul “Sylaniyyah.” Al-Makassari memainkan peran penting dalam mengasuh komunitas Muslim Melayu yang masih baru dan kecil di pulau itu. Al-Makassari sendiri menyatakan secara jelas bahwa dia menulis karya-karyanya di Srilanka untuk memenuhi permintaan kawan-kawan, murid-muridnya dan kaum muslimin di sana. Dia juga menjalin hubungan dengan ulama lain di sana.[11]

Pada tahun 1106/1693, Belanda mengasingkan al-Makassari ke tempat yang lebih jauh lagi yaitu ke Afrika Selatan. DI Afrika nampaknya al-Makassari mencurahkan sebagian besar waktunya untuk kegiatan menarik pengikut-pengikut baru. DI Afrika Selatan ada 3 tarekat sufi yang berkembang di kalangan kaum muslimin yaitu tarekat Qadariyah, Syatariyah, dan Rifa’iyah. Besar kemungkinan al-Makassari yang memperkenalkan tarekat-tarekat ini disana sebab dia merupakan khalifah dari ketiga-tiganya.

3. Neo Sufisme H. Makasari

Konsep utama tasawuf al-Makassari adalah pemurnian kepercayaan pada keesaan Tuhan.[12] Dengan mengutip surat al-Ikhlas (QS: 112) dan ayat lain al-Qur’an yang menyatakan bahwa tidak ada yang dapat diperbandingkan dengan-Nya (QS 42:11), al-Makassari menekankan, keesaan Tuhan itu tidak terbatas dan mutlak. Dalam konsep al-‘ahathah dan al-ma’iyah, al-Makassari menolak konsep Wahdat al-Wujud dan dia mengambil konsep Wahdat al-Syuhud.

Satu ciri menonjol dari teologi al-Makassari mengenai keesaan Tuhan adalah bahwa dia berusaha mendamaikan seluruh atribut atau sifat Tuhan. Dalam teologinya al-Makassari sangat mematuhi doktrin Asy’ariyah. Dia menekankan kesetiaan penuh pada keenam rukun iman.[13] Sesuai dengan tingkat kepercayaan mereka kepada Tuhan, al-Makassari menggolongkan kaum beriman ke dalam empat kategori.

1. Orang munafiq : orang yang hanya mengucapkan pernyataan iman tanpa benar-benar iman.

2. Kaum beriman yang awam : orang-orang yang tidak hanya mengucapkan syahadat, tetapi juga menanamkannya ke dalam jiwa mereka.

3. Golongan beriman yang benar-benar menyadari implikasi lahir dan batin dari pernyataan keimanan dalam kehidupan mereka

4. Kategori tertinggi orang beriman, yang keluar dari golongan ketiga dengan jalan mengintensifkan syahadah mereka, terutama dengan mengamalkan tasawuf, dengan tujuan lebih dekat dengan Tuhan. Karenanya mereka dinamakan yang terpilih dari golongan elite (Khasanah al-Khawwash).[14]

5. Al-Makassari jelas menunjukkan tasawwuf hanya untuk kalangan terpilih dari segolongan elite seperti para tokoh lain dari jaringan ulama, tasawufnya adalah yang digolongkan sebagai neo-sufisme.

6. Al-Makassari menegaskan bahwa setiap orang yang ingin mengambil jalan Tuhan harus mengamalkan semua ajaran syariat sebelum dia memasuki tasawwuf. Dia selanjutnya mengemukakan daftar cara-cara agar dapat mendekati Tuhan. Pertama, cara ‘Akhyar dengan menjalankan banyak shalat, membaca al-Qur’an dan Hadits nabi SAW, berjuang di jalan Allah dan ketaatan eksoteris lainnya. Kedua, cara Mujahidat al-Syuqa’, dengan jalan latihan keras melepaskan diri dari kebiasaan buruk dan mensucikan pikiran serta jiwa. Ketiga, cara Zikir, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik secara lahir maupun batin. Al-Makassari memberikan tekanan istimewa terhadap zikir, terutama zikir vokal. Menurut dia zikir adalah pengakuan penuh akan keesaan Tuhan. Pada tingkat persiapan (al-Mubtadi), orang yang melakukan zikir menegaskan bahwa dalam imannya tidak boleh ada yang disebut selain Tuhan. Pada tingkat selanjutnya (al-Mutawasith), dia mengakui bahwa dia tidak mencari dan mencintai apapun kecuali Tuhan. Pada tingkat terakhir (al-Muntahi), dia sepenuhnya percaya bahwa tidak ada wujud lain kecuali Tuhan.[15]

C. Aktifitas Politik

Al-Makassari dan Sultan Banten yaitu Sultan Ageng Tirtayasa telah bersahabat sebelum al-Makassari pergi ke Arabia. Jadi, ketika al-Makassari kembali dengan membawa keunggulan keilmuan Sultan Ageng dengan segala cara termasuk lewat tali perkawinan berusaha untuk menahannya di Banten. Al-Makassari dinikahkan dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa. Pernikahannya dengan putri Sultan menciptakan ikatan lebih kuat dengan kesultanan. Dia menduduki salah satu jabatan tertinggi di kalangan elite istana, dan menjadi anggota Dewan Penasehat Sultan yang paling berpengaruh. Dia disebut opperpriester atau hoogen priester (pendeta tertinggi) oleh sumbert-sumber Belanda, dan memainkan peranan penting bukan hanya dalam masalah-masalah keagamaan, tetapi juga dalam masalah-masalah politik.[16]

Sultan Ageng dan Syah Yusuf sama-sama bercita-cita akan menjadikan Banten satu kerajaan yang berstatus pemerintah Islam. Rasa anti terhadap penjajah kafir makin hari makin menebal. Sultan terpengaruh benar dengan ajaran Syah Yusuf sehingga kecintaannya terhadap Islam bertambah mendalam dan politik anti Belandanya dinyatakan kepada umum. Ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji, Syekh Yusuf dan rakyat jelata setia kepada Sultan dan kebenaran. DI akhir pergolakan itu Sultan Ageng dan Syekh Yusuf menerima kekalahan total. Keduanya ditangkap dan dipenjarakan di Batavia. Akan tetapi Syakh Yusuf dibuang oleh Belanda di pulau Ceylon. Kemudian pada tahun 1694 Syah Yusuf dipindahkan lagi ke Cape Town. Pada tanggal 23 Mei 1699 wafatlah Syekh Yusuf tokoh sufi pejuang Islam yang gigih itu di Zanfliet Tanjung Harapan, Benua Afrika itu.[17]

D. Karya-Karyanya

Karya-karya Syekh Yusuf al-Makassari antara lain yaitu ar-Risalatun Naqsyabandiyah, Fat-hur Rahman, Zubdatul Asraar, Astaaris Shalaah, Surat Kiriman untuk Karaens Abdul Hamid Karunrung, al-Tuhfatus Sailaniyah, Tuhfatur Rabbaniyah, al-Hablul Warid, Safinatun Najaat, dan Tuhfatul Labiib.[18]



[1] http://endraithuujelek.wordpress.com/2009/12/07/syeikh-yusuf

[2] http://jalanterus.blogspot.com/2007/11/syekh-yusuf-al-maksari.html

[3] http://blogtradisionalislam.wordpress.com/2008/II/II/ajaran-teologi-dan-tasawuf-sheikh-yusuf-makasari

[4] http://jalanterus.blogspot.com/2007/11/syekh-yusuf-al-maksari.html

[5] http://blogtradisionalislam.wordpress.com/2008/II/II/ajaran-teologi-dan-tasawuf-sheikh-yusuf-makasari

[6] http://blogtradisionalislam.wordpress.com/2008/II/II/ajaran-teologi-dan-tasawuf-sheikh-yusuf-makasari

[7] http://blogtradisionalislam.wordpress.com/2008/II/II/ajaran-teologi-dan-tasawuf-sheikh-yusuf-makasari

[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 262-264.

[9] Ibid., hlm.264-271

[10] Ibid., hlm. 271-273

[11] Ibid., hlm 278-281

[12] Ibid., hlm. 282-285

[13] Ibid., hlm. 288

[14] Ibid., hlm. 290

[15] Ibid., hlm. 295

[16] Ibid., hlm. 275

[17] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, (Surabaya: al-Ikhlas, 1930), hlm. 72-75

[18] Ibid., hlm. 75-76

Tidak ada komentar: