Selamat datang kawan di blogku yang sederhana ini, jangan lupa follow blogku ya biar persaudaraan kita tidak terputus. Terima kasih kawan atas kunjungannya, semoga bermanfaat.

Sabtu, 05 Februari 2011

Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian¨

Sejarah Lisan Orang Biasa:
Sebuah Pengalaman Penelitian¨
Abdul Syukur"
Pengantar
Sejarah lisan sebenarnya telah lama dikenal oleh umat manusia di
seluruh dunia karena lisan adalah alat komunikasi utama yang digunakan
untuk mewarisi pengetahuan masa lalu kepada generasi selanjutnya. Fungsi
lisan ini tergantikan oleh tulisan setelah umat manusia menuliskan
pengetahuan masa lalunya pada tulang, batu, kulit binatang, pelepah pohon,
kertas dan media lainnya. Di dalam ilmu sejarah, muncul penilaian bahwa
sumber tertulis lebih obyektif, lebih akurat, lebih otentik, dan lebih dapat
dipercaya kebenarannya daripada sumber lisan. Alasannya, karena sumber
tulisan bersifat tetap dari mulai ditulis hingga ditemukan dan dipergunakan
oleh para sejarawan untuk melakukan rekonstruksi masa lalu. Sebaliknya
sumber lisan bersifat tidak tetap akibat adanya penambahan atau
pengurangan informasi sehingga justeru dapat menyesatkan kerja para
sejarawan. Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan
terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan
mengumpulkan, menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis
menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu.
Agaknya sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan
pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas
Sorbone, Paris-Perancis bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi
sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara demonstratif
 Makalah untuk Konferensi Nasional Sejarah VIII pada tanggal 14-17 Nopember 2006 di
Hotel Millenium, Jakarta.
¨ Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
1
kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium no documents, no history (tidak
ada sumber tertulis, tidak ada sejarah).1
Pemikiran dan adagium yang memuja sumber tertulis tersebut digugat
oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar
masa lampuanya tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul
usaha untuk merekam pengalaman para orang tua dalam membangun
wilayah Amerika.2 Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali sejarah lisan yang
dimulai tahun 1930 dan 18 tahun kemudian (1948) berdirilah pusat sejarah
lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian
pusat sejarah lisan di beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia.3
Sejarah Lisan di Indonesia
Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke
Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh
sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek
Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi
Indonesia 1945-1950. 4 Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada
keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta
Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, “40 Hari
Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah
1 Lihat Paul Thompson, The Voice of the Past: Oral History, London: Butler & Tanner, 1978, hal. 47
sebagaimana dikutip Asvi Warman Adam, “Sejarah Lisan Di Asia Tenggara, Sejarah Korban di
Indonesia” yang merupakan pengantar edisi Indonesia untuk buku P. Lim Pui Huen, James H.
Morrison, dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara: Teori dan Metode, Jakarta: LP3ES,
2000, h. xiii.
2 A.B. Lapian, “Catatan Permulaan Bagi Pewawancara” dalam Berita Lembaran Sejarah Lisan no 11
bulan Maret 1985, h. 1-2.
3 Andre Burguiere, Dictionaire des Sciences historiques, Paris: Presse Universitaire de Franco, 1986
sebagaimana dikutip Asvi Warman Adam, op.cit.
4 Terima kasih kepada Mona Lohanda, seorang arsipatis dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan
sekaligus sejarawan atas informasinya yang sangat berharga untuk penulisan makalah ini. Juga saya
ucapkan terima kasih atas pemberian makalahnya yang tidak diterbitkan, Oral History in Indonesia: A
Critical Review.
2
lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang
sejarah militer Indonesia.5
Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI
(Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan.
Penanggung jawabnya adalah Soemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991.
Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W.
Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan
masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan
empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Abdurrachman
Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat
sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.6
Meski Notosusanto merupakan perintis sejarah lisan di Indonesia,
namun yang paling berjasa menyebarluaskan perkembangan sejarah lisan di
Indonesia adalah Soemartini dan Harsja Bachtiar. Ini terjadi karena keduanya
banyak melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia
dengan memberikan pelatihan dan membentuk pusat sejarah lisan di
beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981.7 Hasilnya adalah
9 kelompok sejarah lisan daerah, yaitu Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru
(Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat),
Jogjakarta, Banjarmasin (Kalimantan), Ujung Pandang (sekarang Makasar,
Sulawesi Selatan), dan Menado (Sulawesi Utara). Perwakilan dari masing-
5 Mona Lohanda, Oral Hisyory...... h. 6.
6 Soemartini dalam Kata Pembukaan Kepala Arsip Nasional RI untuk acara Lokakarya Sejarah Lisan
Arsip Nasional RI tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta. Naskah dimuat secara utuh dalam Lembaran
Berita Sejarah Lisan no. 9 bulan Oktober 1982, h. 11.
7 Lihat laporan informasi aneka kegiatan Sejarah Lisan Arsip Nasional RI yang dimuat dalam
Lembaran Berita Sejarah Lisan no. 8 bulan Maret 1982, h. 1-4.
3
masing kelompok sejarah lisan daerah inilah yang diundang pada acara
Lokakarya Sejarah Lisan ANRI pada tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta.8
Sejumlah kursus singkat seputar sejarah lisan diadakan misalnya oleh
Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jogjakarta bekerja sama
dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada tahun 1988 dan 1990
serta MSI Cabang Sulawesi Selatan dengan Fakultas Sastra Universitas
Hasanudin pada tahun 1990. Peserta kursus singkat ini terdiri dari para
sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.9 Meningkatnya minat
sejarawan Indonesia terhadap penelitian sejarah lisan mendorong pihak ANRI
pada tahun 1992 untuk membentuk divisi khusus yang menangani sejarah
lisan, yaitu Sub Bidang Sejarah Lisan.10
ANRI melalui Proyek Sejarah Lisannya mempunyai peranan sebagai
motor penggerak dalam mengembangkan sejarah lisan di Indonesia yang
telah dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen
Nasionalnya. Dalam kurun waktu 1964-1992, sejarah lisan di Indonesia telah
mengalami masa pasang surut. Tahun 1964 – 1975 merupakan era
pertumbuhan awal yang dipelopori oleh dua lembaga pemerintah, yakni Pusat
Sejarah ABRI yang dipimpin Nugoroho Notosusanto dan ANRI yang dipimpin
Soemartini. Namun para sejarawan Indonesia lebih mendukung Proyek
Sejarah Lisan ANRI daripada yang dikembangkan oleh Pusjarah ABRI. Oleh
karena itu cukup penting menyimak hasil laporan Panitia Pengarah Proyek
Sejarah Lisan ANRI pada konferensi Sarbica di Kuala Lumpur, Malaysia, 16-
8 Lihat laporan khusus panitia lokakarya yang dimuat dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan No. 9
bulan Oktober 1982, h. 3.
9 Lihat kata pengantar redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan No. 13 bulan Maret 1991, h. i-ii.
10 Mona Lohanda, “Oral History....” h. 3.
4
21 Juli 1990 yang menyebutkan dua periode program sejarah lisan, yaitu
1973-1979 dan 1980-1990.11
Selama periode 1973-1979 menghasilkan 313 kaset rekaman
wawancara dengan 121 pengkisah (istilah yang perlu dipertimbangkan
kembali) dari 21 kota oleh 31 pewawancara. Dalam periode ini terjadi
peningkatan jumlah kaset rekaman wawancara dan pengkisah yang cukup
signifikan pada tahun 1976, yakni 103 kaset rekaman wawancara dengan 56
pengkisah. Jumlahnya menurun drastis pada tahun 1979 karena hanya
mampu melakukan wawancara kepada 6 pengkisah yang tersimpan dalam 23
kaset rekaman wawancara. Kegairahan program sejarah lisan meningkat
kembali pada periode 1980-1990, terutama untuk tahun 1982 dan 1983 yang
berhasil menghimpun 637 kaset rekaman wawancara dari 214 pengkisah dari
12 kota oleh 62 pewawancara. Setelah itu terjani penurunan. Pada tahun
1989 tercatat 197 kaset rekaman wawancara dari 48 pengkisah dari 2 kota
oleh 13 pewawancara. Agaknya sejarah lisan di Indonesia telah mengalami
‘orgasme’ pada tahun 1982-1983. Setelah itu, segera memasuki era kelesuan
sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini.12
Year Interviewers Cities Interviewees Record Cassetes
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
3
11
64232
3843111
3
16
26
56
866
14
70
51
103
27
25
23
11 Oral History Steering Committee of the National Archives of Indonesia, “The Oral History
Programme of The National Archives of Indonesia (A Country Report), Lembaran Berita Sejarah Lisan
Nomor 13 bulan Maret 1991, h. 1-7.
12 Tabel dikutip dari Laporan Oral History Project Nasional Archives of Indonesia dalam konferensi
Sarbica di Kualalumpur, Malaysia 16-21 Juli 1990.
5
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
32
39
23
10
17
14
11
14
13
12
10
2442452
68
59
155
34
47
42
33
59
48
84
99
304
333
220
362
288
189
277
197
Sejarah lisan orang biasa
Kelesuan sejarah lisan di Indonesia pernah juga terjadi antara tahun
1977-1981 sebagaimana dilaporkan redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan
pada edisi nomor 8 bulan Maret 1982, “Panitia Pengarah Sejarah Lisan Arsip
Nasional R.I telah memulai lagi berbagai kegiatannya. Mungkin karena sudah
begitu lama terhenti seolah-olah kegiatan sekarang ini seperti mulai dari
bawah lagi.” Memasuki tahun 1990-an, sejarah lisan di Indonesia juga seperti
mulai dari bawah lagi karena bergantinya model, yakni dari sejarah lisan para
tokoh menjadi sejarah lisan orang biasa.
Berbeda dengan Amerika, sejarah lisan di Indonesia tumbuh dengan
kesadaran untuk menyimpan pengalaman para tokoh yang mempunyai
peranan besar dalam perjuangan mendirikan dan membangun negara RI.
Sebagian sejarawan, terutama dari Universita Gajah Mada di Yogjakarta
sejak awal mengkritisi kecenderungan tersebut sebagaimana diungkap oleh
anggota Panitia Pengarah Sejarah Lisan ANRI, Abdurrahman Surjomihardjo
dalam pengarahannya pada pertemuan sejarah lisan sub kegiatan
Palembang, Sumatera Selatan, “Salah seorang sejarawan dari Yogya
mengamati selama 20 tahun ini sejarah kita terlalu berorientasi kepada elite,
kepada pemimpin-pemimpin, yang kemudian dianggap pahlawan.”13 Pada
13 Materi pengarah dimuat kembali oleh redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan no 11 bulan Maret
1985, Abdurrahman Surjomihardjo, “Sejarah Lisan dan Pengenalan Awal Bagi Peminat Baru”, h. 15.
6
tahun 1991, redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan akhirnya menurunkan
tiga tulisan sejarawan dari UGM yang menganjurkan perlunya sejarah lisan
orang biasa.14
Gayung pun bersambut sehingga terjadi penguatan kesadaran
perlunya merekonstruksi peristiwa masa lalu berdasarkan penuturan orangorang
biasa yang selama ini terabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia.
Perkembangan sejarah lisan orang biasa dipercepat setelah kehancuran
pemerintahan Orde Baru “daripada” Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Sebagaimana diketahui bahwa Orde Baru telah menggunakan sejarah untuk
memperkuat legitimasi kekuasaan.15 Akibatnya muncul gerakan penolakan
terhadap seluruh rekonstruksi masa lalu yang dibuat selama Orde Baru.
Gerakan ini lebih populer dengan nama pelurusan sejarah. Pelopornya
adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berusaha membeberkan
kejahatan-kejahatan HAM pada masa lalu dengan menjadikan Peristiwa
Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) sebagai titik pusatnya. Kasus ini
bagaikan membuka kotak pandora terhadap berbagai misteri sejarah
Indonesia lainnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah buku Tahun Yang
Tak Pernah Berakhir yang ditulis John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid.
Buku ini menggunakan metode sejarah lisan orang biasa dengan
14 Tulisan dimaksud adalah Djoko Surjo, “Sejarah Lisan untuk Sejarah Sosial”; Adaby Darban,
“Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya”, dan Sartono
Kartodirdjo, “Pengalaman Kolektif sebagai Obyek Sejarah Lisan”. Lihat Lembaran Berita Sejarah
Lisan edisi nomor 13 bulan Maret 1991.
15 Kecenderungan Orde Baru menggunakan sejarah untuk memperkuat kekuasaannya terlihat secara
jelas dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid VI. Buku ini terdiri dari enam jilid dan merupakan
hasil kerja para sejarawan Indonesia yang tergabung dalam Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah
Nasional yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru. Terbitan pertamanya pada tahun 1975. Hingga
tahun 1990 sudah mengalami enam kali cetak ulang. Buku ini menjadi rujukan utama untuk pengajaran
sejarah tingkat sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas.
7
mewawancarai 260 bekas tahanan politik G30S 1965.16 Buku ini merupakan
hasil kerja Instutut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), sebuah LSM yang
bergerak di bidang penelitian sejarah dan berdiri pada tahun 2002 di Jakarta.
Melacak dan membujuk
Sebelum ISSI berdiri, penulis telah melakukan penelitian sejarah lisan
orang biasa. Penelitian dilakukan pada tahun 1999 dan 2000 dengan
mewawancarai 26 orang yang mengalami, menyaksi dan mengetahui
Peristiwa Lampung 1989, yakni sebuah operasi penghancuran oleh
pemerintah Orde Baru pada 7 Februari 1989 terhadap kelompok pengajian di
Cihideung yang masuk Dukun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan
Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Oleh karena
itu peristiwa ini juga dikenal sebagai Peristiwa Talangsari, sesuai nama
dusunnya.17 Sebagian besar dari mereka meninggal dunia pada saat
kejadian, dan lainnya dipenjerakan. Sepuluh tahun kemudian (1999) mereka
dibebaskan setelah Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Presiden
Soeharto pada tahun 1998 memberikan amnesti umum kepada seluruh
tahanan politik.
Kesulitan pertama yang dihadapi penulis adalah tidak adanya informasi
tentang lokasi keberadaan mereka. Satu-satunya yang diketahui penulis
adalah alamat Riyanto di sekitar terminal bus Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dia menulis surat pembaca di majalah Sabili edisi tahun 1999. Namun,
ternyata alamat yang tertera adalah alamat lama. Para tetangganya --
termasuk saudaranya Riyanto-- tidak mengetahui tempat tinggal Riyanto yang
16 Untuk lebih jelasnya lihat John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid, Tahun Yang Tak Pernah
Berakhir: Memahami Pengalaman Korban ’65; Esai-Esai Sejarah Lisan (Jakarta: Elsam-Truk-ISSI,
2004).
17 Untuk lebih jelasnya lihat Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989
(Jogjakarta: Ombak, 2003).
8
baru setelah bebas dari penjara. Namun saudaranya bersedia membantu
penulis untuk menyampaikan surat permohonan wawancara. Oleh karena itu
penulis menitipkan surat permohonan wawancara dengan menyertakan
nomor telepon penulis kepada saudaranya Riyanto.
Sambil menunggu kabar dari Riyanto, penulis melacak alamat yang
lainnya. Beruntung sekali sebagian dari mereka secara rutin mendatangi
kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Mereka
didampingi para aktivis KontraS mengadukan pelanggaran HAM yang
dialaminya pada tahun 1989 kepada Komnas HAM. Oleh karena itu penulis
mengirim surat permohonan wawancara melalui pengurus KontraS.
Permohonan diterima sehingga penulis dapat mewawancarai Azwar Kaili,
Suparmo, Wahidin, Fauzi Isman, dan Sukardi. Dari mereka penulis
memperoleh sejumlah nama lainnya.
Ternyata bekas tahanan politik Peristiwa Lampung terbelah menjadi
dua kelompok. Ironi terjadi karena kawan menjadi lawan. Pertentangan di
antara mereka bersumber pada sikap mereka terhadap tawaran islah (damai)
dari Letjen (Purn) Hendropriyono, mantan Komandan Resort Militer Garuda
Hitam yang menjadi penanggungjawab pertahanan dan keamanan di seluruh
Lampung. Ditengarai bahwa Hendropriyono mempunyai peranan
menentukan dalam menghancurkan kelompok pengajian di Cihideung pada 7
Februari 1989. Penulis sendiri kurang tertarik meneliti peranannya. Penulis
lebih tertarik pada latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik orangorang
yang terlibat Peristiwa Lampung 1989. Dari mana asal mereka?
Mengapa tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia yang
9
mengakuinya? Mengapa mereka berkumpul di Cihideung? Apa yang mereka
lakukan di sana? Benarkah mereka sedang mempersiapkan pendirian sebuah
negara Islam sebagaimana tuduhan pemerintah Orde Baru? Jadi penulis
tidak menanyakan keputusan mereka untuk menerima atau menolak islah
dengan Hendropriyono. Oleh karena itu kedua belah pihak menerima
permohonan wawancara yang penulis ajukan.
KontraS menjadi pintu masuk penulis untuk mewawancarai kelompok
yang menolak islah. Untuk masuk ke dalam lingkaran kelompok yang
menerima islah, penulis menghubungi Hendropriyono dan pimpinan Gerakan
Islam Nasional (GIN) Sudarsono yang mempunyai peranan penting dalam
pembentukan kelompok pengajian Cihideung. Meski Hendropriyono tidak
bersedia diwawancarai, tetapi dia mengizinkan kelompok penerima islah
untuk diwawancarai penulis.
Seluruh wawancara dilakukan di Jakarta pada waktu dan tempat yang
berbeda-beda. Waktu dan tempat ditentukan oleh orang yang akan
diwawancarai. Mereka paling sering memilih mesjid dan waktu wawancara
menjelang sholat duhur (siang hari). Wawancara biasanya berlangsung
hingga menjelang sholat maghrib (senja hari). Lokasi wawancara selalu
berpindah-pindahi. Dalam arti bahwa mereka tidak pernah menggunakan
lokasi yang sama untuk beberapa kali wawancara.
Ada sejumlah kesulitan yang dialami penulis selama melakukan
penelitian sejarah lisan orang biasa, yaitu melacak alamat sebagaimana telah
diuraikan dan membujuk mereka agar bersedia diwawancarai. Tidak semua
orang bersedia diwawancarai dengan berbagai pertimbangan yang bersifat
pribadi, misalnya mantan istrinya Fauzi Isman yang bekerja di Badan Pusat
10
Statistik (BPS) karena khawatir akan merusak kehidupan barunya. Jadi,
penulis sebenarnya tidak sepenuhnya berhasil pada tahap membujuk, meski
yang menolak hanya sebagian kecil, yakni 3 orang. Penulis membutuhkan
beberapa kali pertemuan dengan calon orang yang akan diwawancarai untuk
menyakinkan betapa penting mereka dalam memahami Peristiwa Lampung
1989. Secara umum penulis memerlukan waktu tiga bulan pada tahap
membujuk para calon orang yang akan diwawancarai. Mereka yang semula
tertutup menjadi sangat terbuka. Dari pengalaman ini, penulis berkesimpulan
bahwa seorang peneliti sejarah lisan harus mampu menciptakan suasana
kekeluargaan yang wajar hingga tidak lagi dipandang sebagai orang lain.
Penulis sendiri tidak selamanya berhasil dalam menciptakan suasana
kekeluargaan yang wajar tersebut. Selalu saja ada kegagalan akibat hal-hal
yang di luar dugaan.
Dalam pertemuan pertama, penulis tidak langsung mengadakan
wawancara, meskipun telah berhasil menciptakan keakraban. Menunda
wawancara ternyata memberikan keuntungan tersendiri, yakni menumbuhkan
kepercayaan mereka terhadap penulis. Menurut penulis bahwa peneliti
sejarah lisan harus menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, bukan
teman diskusi apalagi bertindak sebagai pemberi nasehat. Mereka akan
bertambah semangat apabila kita mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Ada hal penting lain yang perlu diperhatikan, yakni jangan pernah
melakukan bantahan terhadap informasi yang diterima atau
mengkonfrontasikan dengan informasi dari orang lain. Jika ini dilakukan maka
orang bersangkutan tidak lagi bersemangat memberikan informasi atau
bahkan tidak bersedia melanjutkan wawancara. Oleh karena itu penulis
11
memilih metode wawancara indivual daripada wawancara simultan.18 Melalui
wawancara individual itulah penulis dapat menjaga konsistensi semangat
mereka menuturkan kisah hidupnya hingga terlibat Peristiwa Lampung 1989.19
Mengalami, Menyaksikan dan Mengetahui
Pada awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa sejarah lisan muncul lagi
pertama kali di Amerika yang berkebudayaan Inggris. Oleh karena itu banyak
istilah padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris, seperti oral history
(sejarah lisan), interview (wawancara), interviewer (pewawancara) dan
interviewee (pengkisah). Di antara istilah ini yang cukup menarik diperhatikan
adalah pengkisah. Berasal dari kata dasar kisah. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kisah mengandung arti cerita tentang kejadian atau
riwayat dalam kehidupan seseorang. Kata turunannya adalah mengisahkan,
terkisah, kisahan, dan pengisahan. Tidak disebutkan tentang turunan kata
pengkisah. 20 Jadi pengkisah merupakan hasil kreasi dari Panitia Pengarah.
Hal ini terjadi karena di berbedanya variasi turunan kata interview (interviewer
dan interviewee) dengan wawancara (berwawancara, mewawancarai, dan
pewawancara).21 Jadi tidak ada padanan turunan kata wawancara yang tepat
untuk menggantikan interviewee. Sebenarnya pembentukan kata pengkisah
sendiri menyalahi kelaziman dalam bahasa Indonesia. Seharusnya bukan
18Untuk pengertian istilah wawancara individual dan simultan lihat Nugroho Notosusanto, Masalah
Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984) h. 6.
19Selanjutnya lihat tulisan Daniel Chew, “Metodologi Sejarah Lisan: Pendekatan Pengalaman Hidup”;
Nirmala Puru Shotam, “Proses Wawancara Naratif” dan P. Lim Pui Huen, ”Rekonstruksi Sejarah
Pengalaman Hidup. Ketiga tulisan ini terdapat pada buku yang diedit oleh P. Lim Pui Huen, James H.
Morrison, dan Kwa Chong Guan, op.cit.
20 Lihat keterangan kata dasar wawancara beserta turunan katanya dalam Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balia Pustaka, 1997) cet. Kesembilan, h. 505.
21 Lihat ibid, h. 1127.
12
pengkisah tapi pengisah mengikuti pembentukan kata pelaku dalam kata
kirim (pengirim) dan kumpul (pengumpul).22
Namun dalam makalah ini yang paling menarik adalah pengertian
difinisi pengkisah, yaitu orang yang mengisahkan pengalamannya sendiri23
atau ingatan dari yang mengalaminya.24 Berdasarkan difinisi ini maka
pengalaman atau ingatan orang lain harus ditolak. Menurut penulis cakupan
difinisi pengkisah terlalu sempit dan akan menyulitkan dalam melakukan
rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah lisan. Karena setiap pengkisah
sesungguhnya mempunyai tiga bentuk kisah, yaitu kisah yang dialaminya
sendiri, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahuinya. Sudah menjadi
tugas peneliti untuk menyeleksi kisah tersebut menjadi kisah yang dialami,
disaksikan atau diketahui oleh seorang pengkisah. Sebagai contoh dalam
Peristiwa Lampung. Untuk merekonstruksi peristiwa 7 Februari 1989 penulis
susun berdasarkan hasil wawancara dari orang yang mengalami (Arifin bin
Karyan), orang yang menyaksikan (Fadilah dan Riyanto) dan orang yang
mengetahui (Nur Hidayat dan Sudarsono). Pemanfaatan kisah dari orang
yang menyaksikan dan mengetahui juga sangat membantu penulis dalam
menelusi latar belakang pimpinan maupun anggota kelompok-kelompok
pengajian yang terlibat Peristiwa Lampung 1989.
Kesimpulan
Perintis sejarah lisan di Indonesia adalah Nugroho Notosusanto yang
kemudian memimpin Pusjarah ABRI. Namun Panitia Pengarah Proyek
22 Lihat ibid., h . 505 dan 541.
23 A.B.Lapian, op.cit., h. 7. Lihat juga Abdurrahman Surjomihardjo, “Sejarah Lisan Dan Pengenalan
Awal Bagi Peminat Baru, Lembaran Berita Sejarah Lisan No. 11 bulan Maret 1985, h. 14.
24 Taufik Abdullah, “Di Sekitar Pencarian Dan Penggunaan Sejarah Lisan, Lembaran Berita Sejarah
Lisan no. 9 bulan Oktober 1982, h. 27-34.
13
Sejarah Lisan ANRI yang menjadi motor penggerak pengembangan sejarah
lisan di Indonesia. Keduanya (Pusjarah ABRI dan ANRI) sama-sama
mengembankan sejarah lisan para tokoh yang dianggap mempunyai peranan
menentukan dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Tahun 1990
menandai perkembangan baru sejarah lisan di Indonesia, yaitu munculnya
perhatian terhadap sejarah lisan orang biasa yang terutama dipelopori para
sejarawan dari UGM Yogyakarta. Perkembangan sejarah lisan orang biasa
cukup memukau setelah kehancuran pemerintahan Orde Baru daripada
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pihak lain di luar komunitas sejarawan
yang juga berjasa dalam mengembangkan sejarah lisan orang biasa di
Indonesia adalah para aktivis LSM yang memperjuangkan penegakan HAM.
Tujuan sejarah lisan bukanlah untuk melengkapi kekurangan data
tertulis sebagaimana yang dikerjakan oleh Proyek Sejarah Lisan ANRI.
Rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan melalui sejarah lisan, meskipun tidak
ada data tertulis sebagaimana penulis alami dalam merekonstruksi Peristiwa
Lampung 1989. Di sini data tertulis justeru berperan sebagai pelengkap dari
data lisan yang penulis kumpulkan.
Secara garis besar, data lisan dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk,
yaitu kisah yang dialami, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahui.
Ketiga bentuk kisah ini dapat berasal dari satu pengkisah. Untuk itu peneliti
sejarah lisan harus melakukan penyeleksian kisah tersebut sebelum
merangkaikannya menjadi sebuah kisah yang utuh terhadap satu tema
penelitian.
14
Daftar Pustaka
 Abdullah, Taufik. “Di Sekitar Pencarian Dan Penggunaan Sejarah Lisan,” Lembaran Berita
Sejarah Lisan no. 9 bulan Oktober 1982.
 Adam, Asvi Warman. “Sejarah Lisan Di Asia Tenggara, Sejarah Korban di Indonesia” dalam
P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia
Tenggara: Teori dan Metode, Jakarta: LP3ES, 2000.
 Aneka Kegiatan Sejarah Lisan Arsip Nasional RI dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan no. 8
bulan Maret 1982.
 Bigalte, Terry, “The Oral History Method” Lembaran Berita Sejarah Lisan nomor 9 bulan
Oktober 1982.
 Burguiere, Andre. Dictionaire des Sciences historiques, Paris: Presse Universitaire de Franco,
1986.
 Chew, Daniel, “Metodologi Sejarah Lisan: Pendekatan Pengalaman Hidup” dalam P. Lim Pui
Huen, James H. Morrison, dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara: Teori dan
Metode, Jakarta: LP3ES, 2000.
 Darban, Adaby. “Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan
Sekitarnya” Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi nomor 13 bulan Maret 1991.
 Djoened, Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid I-VI (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990.
 Huen, P. Lim Pui, “Rekonstruksi Sejarah Pengalaman Hidup”, P. Lim Pui Huen, James H.
Morrison, dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara: Teori dan Metode,
Jakarta: LP3ES, 2000.
 Kartodirdjo, Sartono. “Pengalaman Kolektif sebagai Obyek Sejarah Lisan” Lembaran Berita
Sejarah Lisan edisi nomor 13 bulan Maret 1991.
 Kata pengantar redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan No. 13 bulan Maret 1991.
 Lapian, A.B. “Catatan Permulaan Bagi Pewawancara” dalam Berita Lembaran Sejarah Lisan
no 11 bulan Maret 1985.
 _________. “Sumber Primer atau Sekunder? Tergantung Pada Konteks Permasalahnya”
Lembaran Berita Sejarah Lisan nomor 9, bulan Oktober 1982.
 Laporan khusus Panitia Lokakarya Sejarah Lisan dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan No. 9
bulan Oktober 1982.
 Lohanda, Mona. Oral History in Indonesia: A Critical Review. (makalah tidak diterbitkan)
 _____________. “Sumber Sejarah Lisan Dalam Penulisan Sejarah Kontemporer Indonesia”,
Lembaran Berita Sejarah Lisan nomor 8 bulan Maret 1982.
 Morrison, James. “Perspekstif Global Sejarah Lisan di Asia Tenggara” dalam P. Lim Pui
Huen, James H. Morrison, dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara: Teori dan
Metode, Jakarta: LP3ES, 2000.
 Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Inti Idayu Press,
1984).
 Oral History Steering Committee of the National Archives of Indonesia, “The Oral History
Programme of The National Archives of Indonesia (A Country Report)”, Lembaran Berita
Sejarah Lisan Nomor 13 bulan Maret 1991.
 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balia Pustaka, 1997) cet. kesembilan.
 Rossa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid. Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami
Pengalaman Korban ’65; Esai-Esai Sejarah Lisan (Jakarta: Elsam-Truk-ISSI, 2004).
 Shotam, Nirmala Puru, Proses Wawancara Naratif” P. Lim Pui Huen, James H. Morrison,
dan Kwa Chong Guan, Sejarah Lisan Di Asia Tenggara: Teori dan Metode, Jakarta: LP3ES,
2000.
 Soemartini, “Kata Pembukaan Kepala Arsip Nasional RI” Lembaran Berita Sejarah Lisan no.
9 bulan Oktober 1982.
 Surjomihardjo, Abdurrahman. “Sejarah Lisan dan Pengenalan Awal Bagi Peminat Baru”,
Lembaran Berita Sejarah Lisan no 11 bulan Maret 1985.
 Surjo, Djoko. “Sejarah Lisan untuk Sejarah Sosial” Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi
nomor 13 bulan Maret 1991.
 Syukur, Abdul. Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (Jogjakarta: Ombak,
2003).
 Thompson, Paul. The Voice of the Past: Oral History, London: Butler & Tanner, 1978, hal.
47.
15
16

Tidak ada komentar: